KONTAN.CO.ID - Sistem keuangan Rusia dilaporkan berada di bawah tekanan yang semakin besar seiring perang Moskow melawan Ukraina hampir genap empat tahun. Gedung Putih berupaya menghidupkan kembali pembicaraan damai akhir pekan ini, dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bertemu Presiden Donald Trump di Florida pada Minggu (28/12/2025). Menjelang pertemuan tersebut, pasukan Rusia meningkatkan serangan bombardir ke Ukraina. Namun, konflik berkepanjangan membawa risiko serius bagi perekonomian. “Krisis perbankan mungkin terjadi,” ujar seorang pejabat Rusia kepada Washington Post dengan syarat anonim. “Krisis gagal bayar juga mungkin terjadi. Saya tidak ingin memikirkan kelanjutan perang atau eskalasi.”
Melansir
Fortune.com, perekonomian Rusia sebelumnya terbilang mengejutkan karena tetap relatif tangguh menghadapi sanksi berat Barat setelah Presiden Vladimir Putin melancarkan invasi ke Ukraina pada awal 2022. Hal ini didukung oleh China dan India yang membeli minyak Rusia dengan harga diskon, sehingga kas negara tetap terisi dan menopang pembiayaan militer. Namun, belakangan harga energi merosot sementara Eropa dan Amerika Serikat memperketat sanksi. Pendapatan minyak dan gas Rusia anjlok 22% dalam 11 bulan pertama tahun ini, dan Reuters memperkirakan pendapatan Desember berpotensi merosot hampir 50%.
Baca Juga: Trump Sebut Perdamaian Ukraina–Rusia Kian Dekat, Negosiasi Masuk Tahap Akhir Untuk menutup kekurangan pendapatan energi, Moskow mengandalkan dana kekayaan negara (sovereign wealth fund). Namun cadangan tersebut kini juga menipis, sehingga pemerintah terpaksa menaikkan pajak untuk mendongkrak penerimaan. Di saat yang sama, pasar tenaga kerja yang ketat dan inflasi tinggi memaksa bank sentral mempertahankan suku bunga pada level tinggi. Pelonggaran terbaru belum mampu mencegah penurunan belanja di sejumlah kategori konsumsi. Dengan perusahaan tertekan oleh suku bunga tinggi dan melemahnya konsumsi, data Rusia menunjukkan upah yang belum dibayarkan hampir tiga kali lipat pada Oktober dibandingkan setahun sebelumnya, menjadi lebih dari US$ 27 juta. Washington Post menambahkan bahwa kebijakan cuti tanpa bayaran dan pemangkasan jam kerja juga kian marak. Akibatnya, semakin banyak konsumen kesulitan membayar cicilan pinjaman. Dengan berbagai tekanan tersebut, peringatan soal potensi krisis perbankan atau gagal bayar bukanlah yang pertama. Pada Juni lalu, bank-bank Rusia telah mengibarkan bendera merah atas potensi krisis utang karena suku bunga tinggi menekan kemampuan debitur membayar pinjaman. Pada bulan yang sama, ketua Russian Union of Industrialists and Entrepreneurs memperingatkan banyak perusahaan berada dalam “situasi pra-gagal bayar”.
Tonton: Saingi NASA, Rusia Berambisi Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Bulan pada 2036 Kemudian pada September, CEO Sberbank German Gref (salah satu tokoh perbankan terkemuka Rusia) menyatakan ekonomi berada dalam kondisi “stagnasi teknis”, melanjutkan peringatannya pada Juli dan Agustus bahwa pertumbuhan ekonomi nyaris nol. Pusat Analisis Makroekonomi dan Peramalan Jangka Pendek
(The Center for Macroeconomic Analysis and Short-Term Forecasting), lembaga pemikir yang didukung negara, menyatakan bulan ini bahwa Rusia bisa menghadapi krisis perbankan pada Oktober tahun depan jika masalah kredit memburuk dan para deposan menarik dana mereka, menurut Washington Post. “Situasi ekonomi Rusia telah memburuk secara signifikan,” tulis Dmitry Belousov, kepala lembaga tersebut, dalam catatan yang dilihat Financial Times. “Ekonomi telah memasuki ambang stagflasi untuk pertama kalinya sejak awal 2023.”
Kesimpulan Tekanan perang berkepanjangan, anjloknya pendapatan energi, sanksi yang makin ketat, serta suku bunga tinggi kini mulai menggerogoti fondasi ekonomi Rusia. Meningkatnya gagal bayar, upah tertunggak, dan stagnasi pertumbuhan memperkuat kekhawatiran bahwa sistem perbankan Rusia berpotensi menghadapi krisis serius jika konflik terus berlanjut tanpa solusi diplomatik.