Ekonomi tahun depan lebih menantang



JAKARTA. Tahun 2015 segera usai. Ada dua kesan mendominasi sepanjang tahun ini; kelesuan ekonomi dan kegaduhan politik sejak awal tahun hingga pengujung tahun. Dua hal itu jelas bukan modal berharga memasuki tahun 2016.

Padahal tantangan tahun depan tak lebih ringan ketimbang tahun ini, baik tantangan dari dalam negeri maupun luar negeri.

Dari luar negeri, ekonomi dunia masih lesu, ekonomi China juga loyo, krisis politik hingga ancaman perang antar negara masih mengintai situasi global. Pada saat sama, Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve, masih berniat menaikkan bunga acuan hingga tahun 2017.


Langkah itu diyakini masih mengaduk-aduk nilai tukar rupiah. Persoalan yang dihadapi dari dalam negeri tidak kalah peliknya. Mulai dari pelemahan daya beli masyarakat, kelesuan dunia usaha yang berimbas pada merunyaknya potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga masalah sosial, masih menghantui situasi dalam negeri.

Harga minyak sawit, batubara, karet, kakao serta sejumlah komoditas lain belum belum beranjak naik. Bahkan harga sejumlah komoditas andalan Indonesia berpeluang makin temaran akibat terseret penurunan harga minyak mentah dunia.

Sebagai catatan, kini minyak mentah turun ke posisi US$ 34 per barel, terendah sejak tahun 2009. Nah, itulah setumpuk tantangan yang harus dihadapi ekonomi Indonesia tahun depan.

"Tahun 2016, meskipun ada optimisme, kita harus tetap memperhatikan kondisi terburuknya," tandas Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Keuangan, pekan lalu.

Tentu saja masih ada peluang ekonomi Indonesia untuk bangkit, alih-alih masuk krisis lebih parah. Minimal tiga hal harus jadi fokus pemerintah. Pertama, jaminan kelancaran pencairan anggaran belanjanya, tidak seret seperti tahun ini.

Jika belanja modal pemerintah senilai Rp 300-an triliun benar-benar cair dan bergulir, ini adalah darah segar bagi ekonomi nasional. Toh, dari sisi pembiayaan tak ada masalah. "Pemerintah meningkatkan porsi Surat Berharga Negara ritel," kata Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Kedua, proyek infrastruktur harus digulirkan. Ambil contoh proyek listrik 35.000 MW yang bernilai sekitar Rp 900 triliun. Jika megaproyek ini berjalan setengahnya saja, tak kurang Rp 450 triliun masuk ke ekonomi nasional. Ketiga, penyelamatan daya beli masyarakat agar konsumsi naik.

Misalnya lewat pengurangan pajak hingga penurunan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Daya beli terangkat, industri bakal selamat. Itulah kuncinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie