KONTAN.CO.ID - Indonesia tidak ingin ketinggalan jauh dari negara-negara maju dalam hal pengembangan teknologi digital. Tak tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo ingin mewujudkan Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara di tahun 2020. Itulah sebabnya penyebaran virus membangun startup alias usaha rintisan gencar dijalankan lewat berbagai program inkubasi (membangun konsep bisnis) maupun akselerasi (pendanaan lebih lanjut). Go-Jek dan Tokopedia bisa menjadi contoh manis betapa memungkinkan startup bisa menjelma menjadi perusahaan unicorn yang memiliki valuasi US$ 1 miliar bahkan lebih. Satu di antara banyak akselerator startup yang hadir di Indonesia saat ini adalah Plug and Play asal Silicon Valley, Amerika Serikat (AS). Sebagai perusahaan akselerator, Plug and Play melakukan investasi, menjalankan mentoring dan mendukung startup sampai pada titik perusahaan tersebut bisa tumbuh dan meningkatkan nilai perusahaan.
"Presiden Joko Widodo awal tahun lalu mendatangi kami di Silicon Valley. Beliau tertarik dengan konsep yang kami jalankan dan menginginkan kami datang ke Indonesia untuk membantu membangun ekosistem startup," ujar Jupe Tan, Managing Partner Plug and Play Asia Pacific akhir pekan lalu. Program akselerasi yang dijalankan telah memasuki gelombang kedua. Plug and Play ingin mencari delapan hingga 10 startup lagi untuk diberi pendanaan sekitar US$ 50.000 atau sekitar RP 665 juta (kurs Rp 13.300 per dollar AS). Pada gelombang pertama, 11 startup telah berhasil mencapai final dari program yang dijalankan selama tiga bulanan tersebut. Tan bilang, ekosistem startup di Indonesia masih sangat awal. Masih butuh waktu dan aksi nyata untuk bisa menciptakan ekosistem yang matang. Ini menjadi tantangan terbesar untuk startup di Indonesia. Potensi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia diakui Tan sudah cukup baik. "Banyak ide dan konsep bisnis yang menarik. Tapi terkadang masih terlalu dini atau masih sulit untuk diimplementasikan karena keterbatasan berbagai hal seperti infrastruktur
software dan kualitas teknologi itu sendiri," kata Tan. Apalagi membangun tim yang solid itu tidak mudah. Belum lagi bisnis yang dijalankan bisa diterima dengan baik di masyarakat. Butuh pola pikir sebagai pengusaha untuk bisa sukses membangun startup menjadi perusahaan beraset jumbo. Perlu diakui, tidak sedikit startup yang gagal. Selayaknya bisnis, industri ini juga penuh risiko baik bagi pelaku maupun investor semacam Plug and Play. "Tapi saya bersemangat melihat perkembangan startup di Indonesia potensinya besar," ujar Tan. Itu sebabnya program pengembangan teknologi di Indonesia kian digalakkan oleh pemerintah. Di industri keuangan misalnya, finansial teknologi (tekfin) atawa
financial technology (fintech) mulai tumbuh subur dengan hadirnya berbagai perusahaan rintisan dengan memanfaatkan platform digital. Hendricus Passagi, Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, tidak semua kebutuhan permodalan bisa dipenuhi oleh lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia. Itu sebabnya perusahaan
peer to peer (p2p)
lending platform muncul sebagai produk inovasi keuangan.
Danamas salah satu perusahaan yang menjalankan bisnis
peer to peer (p2p)
lending ini dengan menyasar pengusaha mikro. "Kami menjembatani para pedagang pulsa untuk bisa mendapatkan permodalan," ujar Dani Liharja, Presdir Danamas. Jadi, jika memiliki ide bisnis datanglah ke inkubator atau akselerator untuk berdiskusi dan mematangkan konsep usaha. Hendricus bilang, OJK mendukung terbentuknya ekosistem berbasis teknologi digital ini. "Peran regulator seperti OJK memastikan bahwa aktivitas tersebut tidak merugikan masyarakat dan lebih luas lagi, tidak merugikan negara," ujar Hendricus. Tentu, perlu kerja sama berbagai pihak seperti Bank Indonesia (BI), kementerian terkait semisal Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk bisa mengatur aktivitas teknologi digital ini secara menyeluruh. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini