Eks deputi wilayah Sabang dituntut 7,5 tahun bui



JAKARTA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Deputi Teknik Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Ramadhani Ismi dengan hukuman tujuh tahun enam bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan. Ia dinilai terbukti melakukan korupsi dalam pembangunan Dermaga Sabang pada Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang tahun 2006 hingga 2011 yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa Ramadhany Ismi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar Jaksa Fitroh Rohcahyanto saat membacakan tuntutan Ramadhany di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (1/12).

Selain itu, Jaksa juga menuntut Ramadhany dengan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 3,20 miliar. Jika dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap tidak dibayarkan, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.


"Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 3 tahun," tambah Jaksa.

Ramadhany dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 65 ayat 1 KUHPidana sebagaimana dalam dakwaan primair.

Kasus ini bermula saat tahun 2004 BPKS mendapatkan anggaran untuk pembangunan Dermaga Sabang yang bersumber dari APBN. Ramadhany kemudian menunjuk langsung perusahaan untuk mengerjakan proyek tersebut.

Sebelum dilaksanakan lelang, Zubir Sahim selaku Kepala BPKS bersepakat dengan Heru Sulaksono selaku Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Aceh agar pembangunan dermaga dilaksanakan oleh PT Nindya Karya. Kendati demikian, demi keamanan pengerjaannya, harus dilakukan kerja sama dengan perusahaan lokal.

Untuk itu Heru Sulaksono melakukan kerja sama operasional dalam bentuk Joint Operation (JO) antara PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara dan Aceh dengan perusahaan lokal yaitu PT Tuah Sejati kemudian dinamakan Nindya Sejati JO.

Saat pengerjaan proyek Pembangunan Dermaga Bongkar tahun 2006, Nindya Sejati JO mensubkontrakan pekerjaan utama untuk pekerjaan pile Cap, Balok, plat, plat injak dan pasangan batu di bawah plat injak dan pekerjaan tambahan yaitu pekerjaan persiapan dan pekerjaan trestle (pekerjaan pemancangan) kepada CV Saa Inti Karya Teknik dan dibayar Rp 3,38 miliar.

Selain itu, Nindya Sejati JO juga melakukan pembelian tiang pancang beton kepada PT WIKA BETON dengan nilai Rp 1,22 miliar. Selain itu, untuk operasional Nindya Sejati JO sebesar Rp 748,81 juta. Atas hal tersebut, terdapat selisih pembayaran dari BPKS kepada Nindya Sejati JO sebesar Rp 3,06 miliar. penyimpangan ini juga menyebabkan kerugian negara senilai Rp 2,91 miliar.

Adapun modus penyimpangan tersebut, juga dilakukan dalam proyek pembangunan dermaga Sabang untuk tahun 2007 hingga tahun 2011. Akibat perbuatan ini, Ramadhany dinilai terbukti memperkaya diri sendiri sebesar Rp Rp 313,345 miliar. Menanggapi tuntutan tersebut, Ramadhany akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pekan depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa