Eks Mendag ingatkan ancaman ekspor kian anjlok



JAKARTA. Usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45, dunia berada dalam ketidakpastian. Menurut mantan Menteri Perdagangan dan Ekonom Senior CSIS Mari Elka Pangestu, situasi ini dapat dikatakan sebagai new normal.

Situasi seperti ini bukan seperti terjadi financial crisis yang kemudian bisa kembali lagi, melainkan ada perubahan struktural yang terjadi di mana pertumbuhan perdagangan akan lebih rendah dari sebelumnya.

“Dan itu karena ada perubahan dari cara produksi, cara trade, cara investasi yang terjadi, di mana lebih banyak sektor jasa yang berperan. Dan di mana daya saing itu bukan hanya karena kita punya biaya tenaga kerja yang murah, atau sumber daya alam (SDA). Ini akan masuk lebih ke nilai tambah yang lebih tinggi. Indonesia harus bisa siap menghadapi persaingan ke depan,” kata Mari saat ditemui di Hotel Intercontinental, Jakarta, Selasa (7/3).


Menurut Mari, hal lainnya yang ada dalam new normal ini adalah peningkatan proteksionisme. “Tetap pasar terbesar adalah Eropa dan AS, jadi kalau memang mereka menutup, kan itu perdagangannya sudah anjlok, akan tambah anjlok,” ujarnya.

Selanjutnya adalah teknologi perubahannya begitu cepat sehingga e-commerce, perubahan otomasi, dan robot akan mempengaruhi cara masyarakat berdagang. Saat ini sudah banyak sistem teknologi yang membuat sistem produksi menjadi lebih cepat. Menurut Mari, hal ini akan sangat menganggu sistem produksi yang ada.

“Jadi new normal ini ada faktor dunia yang tidak terlalu bersahabat, teknologi, dan perubahan cara melakukan produksi. Jadi menurut saya, globalisasi tidak bisa dihindarkan,” ucapnya

Menurut Mari, hal ini akan lebih baik bila Indonesia memiliki langkah antisipasi, yaitu dengan membuka market, “Dan bahkan orang-orangnya juga ya, agar bisa meningkatkan nilai tambah dan inovasi,” katanya.

Mari menambahkan, bagian lain dari situasi new normal ini adalah ekonomi China yang tumbuh di bawah 7%. Hal ini berbeda ketimbang sebelum global financial crisis di mana China tumbuh 8-10%.

Itulah yang menyebabkan ekspor Indonesia naik. Namun, saat ini sudah kembali berkurang, khususnya untuk kelapa sawit dan batubara.

Dengan demikian, hal ini berarti Indonesia harus melakukan diverifikasi. Mengingat bahwa China adalah pasar yang besar, Indonesia diharapkan bisa mengekspir produk lain, misalnya produk manufaktur.

“Manufaktur karena biaya tenaga kerja tidak lagi murah di sana. Ada pula jangan lupa sektor jasa. Juga sektor pariwisata” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto