Eks pengacara di puncak tambang nikel



KONTAN.CO.ID - Pada 27 September 2017 lalu tepat enam tahun Nicolas Kanter menjabat sebagai Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Saat itu, ia terpilih menggantikan petinggi Vale Indonesia sebelumnya Tony Wenas.

Nico, begitu sapaan akrabnya terbilang sukses memimpin perusahaan tersebut dengan kinerja yang baik hingga kini. Namun, siapa sangka, jika Nico masuk ke bisnis ini secara tidak sengaja alias tak pernah direncanakan sebelumnya. Maklum, Nico tak pernah mempelajari teknis keilmuan untuk berkarier di pertambangan.

Saat berbincang dengan KONTAN beberapa waktu lalu, Nico menyebut tak pernah bermimpi duduk pada posisi yang diembannya saat ini. Namun, ia mengaku pernah berhasrat untuk kuliah teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sayang, keinginan juga tak terpenuhi.


Hidup terus berjalan dan Nico tak mau meratapi kegagalannya masuk ITB di tahun 1978. Ia memilih untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Lulus kuliah tahun 1983 sebagai Sarjana Hukum, Nico berhasrat untuk merintis karier sebagai seorang pengacara. Hal tersebut terwujud ketika Nico memulai kariernya sebagai pengacara di kantor hukum Lukman Hanafiah.

Namun, Nico tak puas menjadi seorang pengacara dan ingin lebih mandiri. Makanya, memasuki tahun 1984, Nico memutuskan untuk bekerja sebagai penasehat hukum di PT Atlantic Richfield Company (Arco) Indonesia yang tak lama kemudian diakuisisi oleh British Petroleum (BP) dan akhirnya berubah nama menjadi BP Indonesia.

Untuk meningkatkan kariernya di perusahaan itu, Nico diharuskan untuk belajar tentang bisnis minyak dan gas (migas) yang menjadi bisnis BP Indonesia. Alhasil, tahun 1987, Nico mesti memulai lagi kariernya dari nol dengan menerima dipindahkan ke divisi lain selain legal.

Tercatat sejak tahun 1987-1999, Nico dimutasi ke berbagai divisi di perusahaan ini, mulai dari pembelian, keuangan. perencanaan, pengendalian, pemasaran, dan Sumber Daya Manusia (SDM).

"Hampir muter di seluruh divisi, kebetulan sistem mereka mau membina karier, sehingga diputar-putar. Berbeda dengan zaman sekarang yang mendalami satu. Saya masih sempat merasa bekerja dari berbagai divisi," kenangnya.

Ia mengatakan dari berbagai divisi yang pernah dimasukinya, divisi pengadaan menjadi yang paling berkesan baginya. Menurut Nico, saat itu divisi pengadaan diklaim sering melakukan kecurangan. Namun, dia selalu ingat soal integritas dan tak mau tergoda yang bisa berakibat buruk di masa mendatang. "Kecurangan hanya akan melahirkan penyesalan nantinya," ujarnya.

Setelah diputar ke berbagai divisi, tahun 2001, Nico diangkat sebagai Senior Vice President Human Resources (HR) and General Support di Vico Indonesia yang diakuisisi oleh BP. Nico mengatakan, bekerja di divisi ini mengharuskannya untuk belajar banyak soal manusia. Ia harus berurusan dengan manusia setiap hari. "Mungkin dari sinilah beberapa prinsip dan konsep kepemimpinan saya pelajari dan peroleh," ungkap Nico.

Karier Nico terus menanjak. Pada tahun 2003, dia dikirim ke Hong Kong sebagai Executive Assisstant Group Vice President Upstream di BP Asia Pacific and Middle East.

Penugasan kali ini menimbulkan kesan bagi Nico karena di posisi inilah ia kerap bertemu dengan pemimpin di berbagai kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah. Alhasil, nama Nico pun mulai dikenal banyak orang.

Tak lama kemudian, Nico kembali dipanggil pulang ke BP Indonesia dan ditunjuk sebagai Executive Vice President Public and Government Affairs BP Indonesia hingga 2007.

Pada titik ini Nico banyak belajar dan mengembangkan kemampuan terkait membina hubungan dengan pihak pemerintah dan berkomunikasi secara tepat.

"Saya harus bisa berhubungan dan menyampaikan apa yang perusahaan inginkan. Kadang-kadang terjadi benturan dengan apa yang pemerintah mau. Nah seninya bagaimana bisa menyelaraskan perbedaan kepentingan ini dengan tetap memegang teguh kepada memberikan yang terbaik bagi kedua belah pihak," ungkap Nico.

Tahun 2007, Nico diangkat sebagai Head of Country BP Indonesia. Ketika sudah merasakan posisi yang cukup nyaman. Akhirnya datang tawaran kepada Nico agar Ia menjadi Komisaris Independen PT Vale Indonesia tahun 2009. "Komisaris Independen inilah yang pertama sekali membuka pandangan saya untuk melihat bidang lain," ujar dia.

Setelah mengantongi izin dari BP Indonesia, Nico bergabung dengan Vale Indonesia sejak 17 April 2009. "Saya bilang tidak ada benturan kepentingan di sini. BP perusahaan Migas dan Vale adalah tambang," ungkap Nico.

Kala itu, Nico meyakinkan pihak BP Indonesia bahwa bergabung dengan Vale Indonesia dapat memperluas wawasannya dan dengan jaringan yang baru di Vale Indonesia dan memberikan nilai tambah untuk BP Indonesia. Maka sejak itu Nico menjabat sebagai Head of Country BP Indonesia sekaligus Komisaris Independen PT Vale Indonesia.

Dua tahun berselang, Nico ditawari jabatan sebagai Presiden Direktur perusahan pertambangan nikel tersebut oleh Presiden Komisaris Vale Indonesia. "Tantangannya menarik, berbeda, jadi akan menambah wawasan. Apalagi kalau terlalu lama berada di zona nyaman akan menurunkan kinerja kita," kata Nico.

Maka sejak 2011, Nico resmi menjadi Presiden Direktur PT Vale Indonesia yang kala itu masih bernama PT Inco Indonesia.

Raih Kontak Karya

Tantangan yang pertama sekali yang dihadapi oleh pria kelahiran 11 Oktober 1958 ini saat menjabat sebagai Presiden Direktur Vale Indonesia adalah Kontrak Karya. Sebab sejak menjadi komisaris independen, urusan Kontrak Karya begitu santer terdengar. "Inilah yang memicu saya agar dapat segera menyelesaikannya. Jadi saat pertama masuk tujuan saya adalah mengamandemen Kontrak Karya PT Vale Indonesia," kenang Nico.

Penyelesaian Kontrak Karya begitu penting bagi Nico, sebab hal ini merupakan jaminan bagi investor yang ingin menaruh uangnya di perusahaan yang telah menjadi salah satu perusahaan pemasok utama kebutuhan nikel dunia ini. Nico pun habis-habisan dalam mengerjakan misi pertamanya.

Berkat usaha kerasnya, Vale Indonesia berhasil memperbarui Kontrak Karya pada 2014. Mengantongi izin usaha ini, maka Vale Indonesia dapat beroperasi di Indonesia hingga tahun 2045.

Nico mengenang tantangan dalam menyelesaikan kontrak karya ini. Pasalnya, dia harus membina hubungan dengan pemangku kepentingan yang memiliki beragam latar belakang.

Nico membandingkan kompleksitas di BP Indonesia dan di Vale. BP memiliki basis operasi di Provinsi Papua Barat. Dan, hanya ada satu kabupaten dan dinilai cukup rumit. Sedang kegiatan Vale tersebar di tiga provinsi yang meliputi lima kabupaten.

Setelah merampungkan Kontrak Karya, Nico tak berpuas diri. Dia menginginkan agar para investor masuk. "Setelah Kontrak Karya, saya langsung berpikir bagaimana mendorong investor masuk dan bagaimana mengomunikasikannya ke pemerintahan provinsi dan kabupaten, yang terkadang koordinasi dan komunikasinya tidak jalan," tutur Nico.

Kontrak Karya merupakan hasil persetujuan Vale Indonesia dengan pemerintah pusat. Namun, pada pelaksanaan sehari-hari, Vale Indonesia berinteraksi dengan pemerintah daerah. Inilah yang menjadi tantangan bagi Nico.

Ia menceritakan pengalaman saat awal-awal menjabat sebagai bos Vale Indonesia, salah seorang bupati menyatakan di depan semua musyawarah pimpinan daerah (Muspida) bahwa hubungan Vale Indonesia dengan pemerintah sudah berada di titik nadir dan ucapan ini diulang iga kali. Hal ini melecut semangat Nico untuk bekerja keras dan membuat Vale Indonesia lebih baik.

Salah satu upayanya membawa Vale Indonesia lebih baik adalah dengan menjadi pemimpin yang baik bagi perusahaan ini.

Nico mengaku mempelajari beberapa prinsip kepemimpinan dari sosok ayah yang ia kagumi. "Prinsip pertama yang diajarkan oleh ayah saya yang pertama adalah jujur. Hal ini jadi kunci dan poin krusial untuk menjadi pimpinan. Ayah saya bilang ikutilah hati nuranimu," ungkap Nico.

Kedua, Nico menekankan agar selalu memberikan yang terbaik saat bekerja, terlepas apapun bentuk pekerjaannya dan apapun posisinya.

Ketiga, senantiasa bersyukur dan menjaga emosi agar tetap positif. "Kita harus bisa menjaga emosi, karena setiap energi negatif jika disalurkan juga tidak akan memberikan dampak positif. "Sebagai pemimpin harus mengurangi menghakimi sepihak tanpa tahu alasannya," tutur Nico.

Selain itu, Nico mengatakan selalu menjunjung tinggi karyawan yang berani menyatakan hal yang benar, meski ada berbagai ancaman. "Demi meraih kepercayaan, maka kebenaran harus diutamakan," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto