Ekspansi kebun sawit berujung konflik nan sengit



Dalam beberapa dekade terakhir, bisnis perkebunan kelapa sawit tengah naik daun. Komoditas ini bahkan dianggap sebagai primadona bagi ekonomi nasional.

Lihat saja, akhir tahun 2011, bisnis CPO nasional memiliki omzet US$ 9,1 miliar. Dari jumlah tersebut, negara mendapatkan Rp 14 triliun dari setoran pajak ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Yang pasti, harga produk turunan kelapa sawit meningkat pesat dipicu oleh peningkatan permintaan, baik dari dalam negeri maupun pasar  global. Dari luar, India, China dan negara-negara di Timur Tengah terus menambah pesanan akan  CPO dari Indonesia. Inilah yang mendorong para pebisnis untuk terus menggenjot produksi CPO. Tak pelak, banyak pengusaha memacu perluasan lahan kebun kelapa sawit, demi mendukung peningkatan produksi CPO. Bahkan sampai beberapa tahun ke depan, proyeksi perluasan lahan kebun sawit baru mencapai 20 juta hektare.


Hanya saja, Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Gideon Saragih menyebutkan, ekspansi perkebunan sawit juga menimbulkan dampak sosial dan lingkungan. Misalnya, marak konflik sosial antar warga, antara warga dan perusahaan juga antara warga dan pemerintah, termasuk dengan aparat keamanan, yang dipicu oleh perluasan kebun sawit.

Argumentasi Jefri klop dengan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Instansi ini mencatat, sekitar 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di Indonesia terlibat konflik dengan warga di sekitarnya. Konflik terjadi di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Total jumlah konflik mencapai 591 kasus.

Dari jumlah itu, empat provinsi di Kalimantan menempati lima besar kasus.  Urutan pertama banyaknya konflik ditempati Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, disusul Sumatera Utara (101), Kalimantan Timur (78), Kalimantan Barat (77), dan Kalimantan Selatan (34).Menurut Jefri, konflik tersebut terjadi akibat tanah milik petani dijadikan lahan sawit tanpa ganti rugi yang sesuai. Selain itu, janji kompensasi sebagai mitra perusahan sawit kerap urung direalisasikan. Juga ada berbagai faktor lainnya.

Versi Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono berbeda lagi. Dia merinci, konflik lahan sawit bisa terjadi pada beberapa fase. Pertama, fase perolehan lahan dan perizinan. "Klaim tanah adat, kepemilikan turun-temurun, karena tidak bisa diselesaikan secara tuntas," jelasnya.

Kedua, fase pembukaan lahan dan penanaman. Pemilik lahan yang berbeda mengaku telah melakukan transaksi dengan pemilik lahan. Ketiga, fase pemeliharaan dan eksploitasi. Muncul pemilik yang mengaku keturunan pemilik lahan tidak mendapat bagian pembayaran ganti rugi.Apa pun latar belakangnya, tahun ini agaknya menjadi masa kelam dalam sengketa lahan perkebunan. Sebab, kerap terjadi, konflik tersebut berujung pada hilangnya nyawa orang.               n(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan