KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Langkah Bank Indonesia (BI) yang berencana melakukan ekspansi likuiditas domestik pada tahun ini, melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN), dinilai bisa memperbesar tekanan pelemahan nilai tukar rupiah dan menimbulkan efek crowding out. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, memang langkah ekspansi likuiditas ini dimaksudkan untuk menjaga likuiditas di pasar, sekaligus mendukung perekonomian nasional di tengah gejolak pasar. Baca Juga: BI Sudah Borong SBN Rp 70,74 Triliun, untuk Stabilkan Rupiah
Akan tetapi, bila melihat kondisi pasar yang volatile alias tidak stabil seperti yang terjadi saat ini, langkah ekspansi likuiditas justru bisa mengandung risiko. “Karena dapat meningkatkan ekspektasi inflasi atau memperbesar tekanan pelemahan pada rupiah apabila pelaku pasar khawatir terhadap potensi meningkatnya suplai uang,” tutur Josua kepada Kontan, Rabu (20/3). Padahal saat ini BI tengah berupaya menjaga agar rupiah tetap stabil, di tengah pelemahan rupiah yang sudah menginjak Rp 16.428 per dollar AS, pada penutupan perdagangan Rabu (19/3). Untuk diketahui, hingga 18 Maret 2025, BI telah membeli SBN sebesar Rp 70,74 triliun. Ini terdiri dari, melalui pasar sekunder sebesar Rp 47,31 triliun dan pasar primer dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) termasuk syariah, sebesar Rp23,43 triliun. Selain itu, Josua juga menilai, langkah BI mengoptimalkan instrumen Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) bertujuan menarik aliran dana asing guna memperkuat stabilitas rupiah, namun bersamaan dengan pembelian SBN dinilai bisa menimbulkan efek crowding out. Memang, kepemilikan asing pada SRBI telah meningkat menjadi Rp232,4 triliun atau sekitar 26,1% dari total instrumen tersebut. “Efek crowding out bisa terjadi di mana SRBI dan SBN bisa bersaing untuk menarik minat investor domestik maupun asing,” jelasnya. Baca Juga: Gubernur BI: Imbal Hasil SBN dan SRBI Masih Menarik bagi Investor Asing Akibatnya, jika persepsi risiko terus meningkat, Josua khawatir dapat menekan permintaan terhadap SBN, berpotensi menyebabkan kenaikan yield alias imbal hasil obligasi pemerintah di masa depan dan membatasi ruang fiskal pemerintah.