JAKARTA. Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) memakan korban. Sejumlah produsen tisu gagal mengirim produknya ke luar negeri. Aparat Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak menahan puluhan kontainer produk tisu lantaran tak dilengkapi sertifikat SVLK atau V-Legal. PT Graha Kerindo merupakan salah satu produsen tisu yang produk ekspornya tertahan di Tanjung Priok, Jakarta. Graha Kerindo memproduksi tisu dengan merek antara lain Tessa dan Multi. Direktur Graha Kerindo, Bambang Dwi Setiawan, mengemukakan, sejak awal tahun ini, sekitar 23 kontainer yang berisi produk tisu milik Graha Kerindo tak bisa keluar dari Tanjung Priok.
Satu kontainer tersebut memiliki volume seberat 12 ton atau secara total 276 ton. Graha Kerindo berniat mengekspor ke-23 kontainer tersebut ke pasar Australia dan Kaledonia Baru. Bambang enggan menyebutkan nilai transaksi 23 kontainer yang berisi tisu tersebut. "Tidak hanya kami, kondisi ini juga menjadi keluhan para pemain kertas tisu yang produknya tertahan karena tidak ada sertifikat V-Legal. Lokasinya di Surabaya," ungkap Bambang ketika dihubungi KONTAN, Rabu (9/1). SepertiĀ diketahui, Pemerintah membangun SVLK dengan melibatkan seluruh pihak terkait di industri kehutanan, juga menggandeng lembaga independen untuk proses verifikasi. Mengacu ke Peraturan Menteri Perdagangan No. 64 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, produk kehutanan yang diekspor harus dilengkapi dokumen V-Legal mulai 1 Januari 2013. Bambang menyatakan pihaknya tidak mengetahui secara persis mengenai kewajiban untuk mengurus sertifikasi V-Legal. Dia hanya tahu bahwa sertifikasi V-Legal ini dikenakan kepada produk kayu. Sedangkan tisu adalah produk olahan kayu. "Sosialisasi pemerintah bahwa tisu harus memiliki SVLK juga masih minim. Kami baru tahu akhir Desember. Jadi, hampir semua produsen tisu tidak siap dengan ketentuan ini," ungkap Bambang. Bambang berpendapat bahwa sistem legalitas ini agak sulit diterima. Sebab, SVLK terbilang berat untuk diterapkan pada produk olahan kayu berupa tisu. Dalam proses SVLK ini terdapat audit dokumen yang membutuhkan waktu selama tiga hari. Jika tak sesuai dokumen, produk dikembalikan dan harus mengikuti prosedur awal. "Kertas tidak seperti kayu yang mobilitasnya tetap. Kertas rawan berubah, volume bisa turun. Jadi ketika audit dokumen dan ada yang tidak cocok dengan spesifikasi, maka kami harus mengulang dari awal," ungkap Bambang. Apalagi, proses audit dokumen butuh waktu cukup lama. Padahal, Graha Kerindo selama ini memilih negara tujuan ekspor yang tidak memakan waktu tempuh cukup lama, yakni hanya berkisar tiga hingga empat hari. Ada lagi satu faktor yang membuat manajemen Graha Kerindo sulit untuk menerima bahwa kertas tisu termasuk produk hasil hutan yang dikenakan wajib SVLK. Faktor itu adalah, sebesar 40% dari bahan baku tisu berasal dari impor. Sedangkan bahan baku yang berasal dari Indonesia hanya sekitar 60%.
"Kertas tisu itu membutuhkan
long fiber (kertas panjang) yang berasal dari hutan pinus yang tidak ada di Indonesia," ungkap Bambang. Graha Kerindo biasanya mengimpor bahan baku kertas tisu dari Kanada dan Eropa. Meski keberatan dengan kebijakan SVLK, Graha Kerindo tetap mengurus dokumen V-Legal. Bambang mengharapkan dalam dua minggu ini dokumen V-Legal akan selesai sehingga 23 kontainer yang berisi produk tisu tidak tertahan lagi. Sebab, penahanan kontainer ini akan menimbulkan biaya tambahan bagi perusahaan. "Saya belum menghitung berapa besar kerugiannya," kata Bambang. Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, belum bisa dimintai konfirmasinya terkait keberatan produsen tisu terhadap SVLK. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro