KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan batubara Indonesia terancam tidak bisa melakukan aktivitas ekspor mulai bulan Mei 2020 nanti. Ketersediaan angkutan laut nasional yang belum memadai menjadi penyebabnya. Merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 yang kemudian diubah untuk kedua kalinya dalam Permendag Nomor 80 Tahun 2018, mulai 1 Mei 2020 ekspor batubara wajib menggunakan kapal nasional.
Baca Juga: Produksi batubara Golden Energy Mines (GEMS) mencapai 30,8 juta ton di 2019 Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengungkapkan kekhawatirannya terkait implementasi aturan tersebut. Selain ketersediaan kapal nasional yang belum memadai, petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan Permendag tersebut juga belum jelas. "Dengan semakin terbatasnya waktu serta belum adanya peraturan teknis pelaksanaan, kami mengkhawatirkan ekspor batubara bisa terganggu," kata Pandu dalam keterangan yang disampaikan di acara diskusi Dampak Kewajiban Penggunaan kapal Nasional terhadap Ekspor Batubara, Kamis (20/2). Lebih lanjut, Ketua Bidang Marketing dan Logistik APBI Hendri Tan mengatakan, pada prinsipnya pelaku usaha mendukung pelaksanaan dari aturan tersebut sepanjang kebijakan itu tidak menghambat kelancaran ekspor, tidak menimbulkan beban biaya tambahan, serta tetap menghormati kontrak ekspor jangka panjang.
Adapun, saat ini pengiriman ekspor batubara pada umumnya menggunakan skema
Free on Board (FoB), dimana importir atau pembeli wajib mengusahakan asuransi dan kapal. Hendri pun memberikan gambaran, pada tahun 2019, ada 7.645 pengapalan (shipment) untuk aktivitas ekspor batubara Indonesia.
Baca Juga: Ini strategi Adaro Energy (ADRO) menopang kinerja di tengah pelemahan harga batubara Dari jumlah tersebut, kapal nasional yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor sangat minim, yakni hanya kurang dari 1%. Dengan begitu, Hendri menegaskan bahwa ekspor batubara Indonesia akan terancam jika wajib kapal nasional tetap diterapkan pada Mei 2020. "Bagaimana mau ekspor jika kapalnya tidak ada? Logikanya kalau kurang dari 1% itu akan berhenti. Tentu harus menjadi perhatian bersama karena jelas akan memberikan efek negatif terhadap investasi," ungkapnya.
Editor: Tendi Mahadi