KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Singgih Widagdo, Ketua Indonesian Mining dan Energy Forum (IMEF) memandang keputusan Presiden untuk melarang ekspor bijih bauksit telah tepat khususnya dalam menjalankan amanat UU No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sejatinya, pelarangan ekspor Ini dilakukan demi mengoptimalkan hasil pengelolaan sumber daya alam termasuk bauksit. Menurutnya hilirisasi bauksit akan jauh lebih menguntungkan dibandingkan sebatas mengekspor mineral mentah. Namun yang perlu dipertanyakan, lanjut Singgih, di saat UU dibuat dan batas pelarangan ekspor mentah bauksit sudah diketahui jauh-jauh hari, semestinya berbagai kementerian memperkuat dengan membuat peta jalan industri alumina secara detail.
"Selain itu juga ada kontrol dalam mengatur volume produksi bauksit nasional atas arah peta jalan yang ada. Sekaligus upaya menarik investor dengan berbagai insentif fiskal dan non fiskal atas perhitungan pasar industri alumina secara global," jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (21/12).
Baca Juga: Ini Catatan DPR untuk Pemerintah Soal Larangan Ekspor Bauksit Singgih mengungkapkan, justru yang sering menjadi perdebatan ialah serapan bauksit ke dalam negeri yang jauh lebih kecil atau 2,6 juta ton dari produksi nasional yang telah mencapai sekitar 25,8 juta ton di tahun 2021. Demikian juga di 2022, dapat dipastikan ekspor mineral mentah bauksit tetap akan mencapai 90 % dari total produksi nasional. Saat ini Indonesia telah mengoperasikan empat smelter dan akan dibangun sebanyak delapan smelter. Diharapkan akan ada 12 smelter bauksit di 2024. Singgih menegaskan, mengingat bauksit sebagai komoditas ekspor yang sangat dibutuhkan, maka Kementerian ESDM harus terus memonitor terkait dengan pembangunan smelter bauksit. Supaya peta jalan hilirisasi bauksit mampu mempertemukan volume produksi bauksit nasional dan serapan kepada industri smelternya. Selain itu, pengawasan pembangunan smelter, baik smelter terintegrasi (dari tambang/hulu ke hilir) dan smelter
stand alone (terpisah dengan tambang) juga harus diperkuat. "Minimal sejak saat ini sampai Juni 2023 nanti," terangnya. Singgih bilang, berdasarkan pola pembangunan smelter, integrasi mata rantai pasok harus diperhatikan karena hubungan antara pertumbuhan industri pertambangan dan industri smelter sangat erat. IMEF menilai kebutuhan aluminium di pasar internasional tetap sangat tinggi sehingga pasar sangat terbuka.
Baca Juga: Ada Wacana Larangan Ekspor Bijih Bauksit, IMA: Perlu Ada Percepatan Industri Hilir Sebagai informasi, total cadangan bauksit dunia sebesar 30.390 juta ton bijih bauksit, cadangan Indonesia hanya 4 % dari cadangan dunia, jauh di bawah Guinea yang sebesar 24 %, lalu Australia 20 %, Vietnam 12 %, Brasil 9 %, dan Jamaika 7%. "Atas kondisi riil cadangan yang ada maka perhitungan terkait dengan
cast cost alumina menjadi sangat penting," terangnya. Bermodalkan cadangan sebesar 4% ini, Singgih menegaskan, investor harus mendapatkan kepastian investasi atas peta jalan industri alumina yang dibuat Kementerian ESDM. Tentu peta jalan ini yang telah diperhitungkan lewat perbandingan negara lainnya yang justru memiliki cadangan bauksit jauh lebih besar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi