Ekspor benih marak, ekspor ikan sidat merosot tajam



JAKARTA. Budidaya ikan sidat yang masih alami membuat produksi dan ekspor ikan bernama latin anguilla itu tidak maksimal. Pasalnya, sebagian ikan itu merupakan hasil tangkapan alam. Jadi, produksinya sangat bergantung dengan musim.

Itu sebabnya, tahun ini, ekspor ikan sidat bisa turun hingga lebih dari 50%. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari-Agustus 2011, volume ekspor ikan sidat mencapai 1.400 ton. Jumlah ini menurun 39,1% dari periode sama tahun 2010 yang mencapai 2.300 ton.

Selain volumenya turun drastis, nilai ekspornya juga hanya US$ 5,3 juta, anjlok 60,44% dari periode yang sama tahun 2010 yang mencapai US$ 13,4 juta. Tren penurunan ekspor ikan sidat ini berbanding terbalik dengan ekspor ikan dan udang yang justru melesat 15,3% menjadi US$ 1,48 miliar.


Nanang Soengkono, Direktur Utama PT Fishindo Lintas Samudera mengatakan, penurunan volume ekspor ikan sidat juga disebabkan oleh peningkatan ekspor benih ikan sidat atau glass eel. Berkurangnya benih itu menyebabkan produksi ikan sidat di dalam negeri menurun. "Berdasarkan SK Mentan No. 214/Kpts/ Um/V/1973 yang dikuatkan oleh Permen Kelautan dan Perikanan No. 18/Men/2009, seharusnya, pengiriman benih sidat ke luar negara ini dilarang," tutur Nanang kepada KONTAN, Jumat (25/11).

Memang, tak bisa dipungkiri, para peternak ikan sidat tergiur mengekspor bibit ikan ini lantaran harganya menjulang di Jepang. Ambil contoh, satu kilogram (kg) bibit sidat yang terdiri dari 6.000 ekor bisa dihargai antara Rp 70 juta-Rp 100 juta.

Yoyon Priyono, Direktur CV Yonadara Sukses, menambahkan, selain faktor cuaca, penurunan volume dan nilai ekspor ikan sidat juga disebabkan peralihan pasar. "Jika tahun lalu orientasinya ekspor, kini pasar dalam negeri mulai terbuka," katanya.

Yoyon membandingkan, tahun lalu, persentase antara ekspor ikan sidat dengan penjualan domestik sekitar 70:30. Namun kini, persentasenya berimbang menjadi 50:50.

Besarnya penyerapan ikan sidat di dalam negeri, menurut Yoyon, disebabkan banyaknya perusahaan pengolahan unagi asal Jepang yang datang ke Indonesia. "Sudah ada empat perusahaan pengolahan yang berburu ikan sidat ke sini," ujarnya.

Sebagai catatan, tahun lalu, produksi ikan sidat Yonadara mencapai 13 ton. Tahun ini, Yoyon memprediksi, produksi bisa meningkat dua kali lipat.

Penurunan nilai ekspor sidat sebetulnya patut disayangkan. Sebab, potensi pasar ikan sidat di luar negeri sangat besar. Contohnya, banyak masyarakat Jepang hobi menyantap sidat. Kebutuhan ikan ini di negeri itu mencapai 120.000 ton per tahun.

Peluang pasar yang begitu besar tersebut juga diakui oleh Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan, Saut Hutagalung. "Potensi ekspor ikan sidat terutama ke Macau, Taiwan, Jepang, China, Hong Kong, Eropa, dan Amerika," ujarnya beberapa waktu lalu.

Harga ikan sidat pun lumayan menggiurkan. Jenis Anguilla bicolor misalnya, dihargai Rp 60.000-Rp 70.000 per kg. Sedangkan Anguilla marmorata dibanderol seharga Rp 100.000-Rp 120.000 per kg.

Nanang mengatakan, selama ini, Fishindo Lintas mengekspor ikan sidat ke kawasan Asia timur khususnya ke Jepang. Setiap tahun, permintaan ikan sidat dari Negeri Sakura itu mencapai 600 ton. Namun, karena masih menggantungkan produksi pada hasil tangkapan alam, Fishindo Lintas hanya mampu memenuhi 500 kg-1 ton ikan sidat per bulan.

Demi meningkatkan bisnis, Selain mengekspor ikan sidat dalam kondisi hidup, Fishindo Lintas juga bekerjasama dengan perusahaan Jepang untuk melakukan pengiriman dalam bentuk sidat olahan seperti kabayaki dan shirayaki. "Sebab, jika langsung mengekspor sidat dalam bentuk hidup, risiko kematiannya tinggi," terang Nanang.

Untuk meningkatkan produksi ikan sidat, sebetulnya Indonesia bisa meniru China yang tergolong lebih maju dalam pembudidayaan ikan sidat. Menurut Nanang, China sudah memiliki delapan tempat budidaya unagi yang terintegrasi, mulai dari pemeliharaan sampai ekspor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: