Ekspor Bijih Bauksit Bakal Dilarang di Juni, Begini Nasib Konsetrat Tembaga dan Timah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan ekspor bijih bauksit dilarang pada Juni 2023 mendatang. Namun untuk konsentrat tembaga dan timah (tin ingot) masih belum dapat dipastikan karena menunggu arahan lebih jauh dari Presiden.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola  Mineral dan Batubara, Irwandy Arif menyatakan merujuk pada Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), tiga tahun setelah UU keluar maka semua mineral mentah harus dilakukan proses nilai tambah di Tanah Air. Tidak ada lagi yang boleh diekspor.

“Sejak Januari 2020, bijih nikel sudah dilarang ekspor. Kemudian pada Juni 2023 berikutnya sudah pasti bijih bauksit dilarang. Namun mengenai (konsentrat) tembaga, timah (tin ingot), dan emas itu kami belum tahu, masih berproses tergantung kebijakan dari pimpinan, keputusan dari Pak Presiden,” jelasnya di Jakarta, Rabu (8/3).


Irwandy menjelaskan lebih lanjut, terkhusus tembaga, salah satu pertimbangan yang dilihat pemerintah adalah hambatan pembangunan smelter akibat pandemi Covid-19 di mana pekerja agak sulit dan sejumlah material tidak bisa didatangkan.

Dia juga menyoroti keseriusan pembangunan smelter. Saat ini dua smelter yang akan mengolah konsentrat tembaga menjadi katoda sudah ada kemajuan. Smelter yang dibangun PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) kira-kira akan selesai di akhir 2024.

Baca Juga: Ini Dampak Jika Ekspor Bijih Bauksit Dilarang Pada Juni 2023

Selain itu, Irwandy menjelaskan untuk komoditas timah sejatinya saat ini sudah menjadi Tin Ingot dengan kadar kemurnian mencapai 99,99%. Menurutnya, di sini tugas Kementerian ESDM sudah selesai.

Dia menjelaskan, hilirisasi timah di Indonesia akan menghasilkan tiga jenis produk yakni timah plate (tin plate), timah solder (tin solder), dan timah kimia (tin chemical). Adapun saat ini produksi timah di Indonesia didominasi tin solder. Saat ini serapan domestik baru mencapai 5% dari total produksi.

Sebelumnya, Kementerian ESDM telah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk mengantisipasi larangan ekspor timah. Pokja ini terdiri dari Kementerian Lembaga (K/L) pemerintahan, asosiasi profesi, termasuk Kadin, dan pihak lainnya untuk diajak berdiskusi. Pokja ini khususnya membahas bagaimana mempercepat produksi timah yang lebih hilir.

“Jadi kita lihat perkembangannya ke depan seperti apa. Tentunya ada kebijakan tertentu dari pimpinan karena serapannya baru 5%,” ujarnya.  

Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Jabin Sufianto menyatakan, pihaknya akan sangat kaget kalau pelarangan ekspor timah langsung diterapkan 100%.

“Karena hasil dari Focus Group Discussion (FGD) atau Pokja, data menunjukkan serapan domestikan sangat tidak mendukung,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (9/3).

Jabin mengatakan, hilirisasi yang bijak adalah pemberlakuan secara bertahap dan membuat ekosistemnya dahulu. Kalau tidak begitu, pelaku usaha tidak bisa bersaing dengan produk hilir dari negara lain.

Dia menuturkan, saat ini pemerintah meminta pelaku usaha membangun industri yang memakai bahan baku timah.

“Nah justru ini adalah kendalanya di mana kami sama sekali tidak ada keterampilan untuk ke bidang industri hilir timah. Kami penambang dan juga sudah punya pabrik smelter dan refinasi, menghasilkan timah murni batangan di mana sesuai Permendag di tahun 2014 wajib diperdagangkan di bursa,” ujarnya.

Maka itu, industri timah saat ini membutuhkan waktu untuk membuat feasibility studies (FS), mencari calon investor, lahan, dan belajar tentang suatu hal yang selama ini belum punya pengalaman di bidang hilirisasi timah seperti pabrik tin soldier, tin chemical, dan lainnya.

Jabin menegaskan, diperlukan peta jalan (road map) yang bisa diterima oleh pemerintah dan juga pengusaha. Harus bertahap untuk menciptakan ekosistem hilir timah di Indonesia.

“Jangan hanya untuk ke soldier atau tin chemical saja karena kalau hanya seperti itu kami tidak bisa berkompetisi secara harga di market global mengingat investasi yang sangat tinggi dan juga kita melawan industri yang sudah ada ekosistem,” tegasnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin menjelaskan, berdasarkan analisis tim Pokja, jika logam timah diproduksi menjadi timah soldier, capital expenditure (capex) yang dibutuhkan untuk membangun pabrik diperlukan modal Rp 20 miliar. Lalu jika mau membangun pabrik Tin Chemical dibutuhkan investasi Rp 300 miliar dan untuk Tinplate dibutuhkan dana Rp 2,3 triliun.

Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Banyak Pembangunan Refinery Bauksit Masih Tanah Kosong

Adapun rata-rata waktu yang diperlukan untuk membangun pabrik tersebut kurang lebih dua tahun.

“Jika larangan ekspor logam timah dilakukan dalam waktu dekat, maka kami juga menghitung dan menyiapkan sejumlah strategi,” ujarnya.

Strategi tersebut ialah merangkul pemain-pemain global yang sudah ada agar berkolaborasi melaksanakan investasi di hilirisasi timah. Menurutnya, kerja sama ini sangat diperlukan karena komoditas hilir timah hanya diperlukan sedikit-sedikit dalam produk akhir misalnya handphone, komputer, otomotif, dan lainnya.

Kerja sama ini didorong oleh Ridwan lantaran penyerapan timah di dalam negeri masih mini. Meski Indonesia merupakan produsen dan pemasok logam timah nomor dua terbesar di dunia, rata-rata penyerapan timah dalam negeri rata-rata hanya 5% saja.

Maka itu, Ridwan menyatakan, Indonesia perlu waktu setidaknya dua tahun menunggu pembangunan pabrik hilir timah sebelum melarang ekspor. “Kemudian juga dukungan kebijakan insentif dan lainnya yang saat ini belum ada,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari