Ekspor bijih nikel dilarang tahun depan, ini efeknya terhadap Central Omega (DKFT)



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memutuskan untuk mempercepat penerapan wacana larangan ekspor bijih nikel kadar rendah. Aturan ini bakal diterapkan mulai 1 Januari 2020 atau dua tahun lebih cepat dari jadwal seharusnya.

Ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pemerintah mempercepat untuk menerapkan aturan ini. Pertama, untuk menjaga cadangan nikel dalam negeri. Kedua, smelter pengolahan nikel yang sudah menjamur di dalam negeri.

Selain itu, potensi nikel yang bisa diubah menjadi cobalt dan lithium sebagai bahan baku baterai mobil listrik juga melatarbelakangi penerapan aturan ini.


Alhasil, kebijakan ini akan mempengaruhi kinerja emiten nikel setidaknya mulai awal tahun depan. Salah satu emiten yang terdampak adalah PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) yang merupakan emiten yang bergerak di bidang pertambangan nikel.

Baca Juga: Harga nikel naik, analis sebut saham Central Omega Resources (DKFT) menarik

Johanes Supriadi, Corporate Secretary PT Central Omega Resources Tbk tidak menampik bahwa aturan ini nantinya akan berimbas terhadap kinerja perusahaan.

“Pasti ada dampak terhadap pendapatan perusahaan yaitu hilangnya sebagian pendapatan perusahaan dari sektor pertambangan,” ungkap Johanes kepada Kontan.co.id, Rabu (11/9).

Meski demikian, Johanes belum mengungkapkan lebih jauh ihwal berapa besar pendapatan yang berpotensi hilang ini.

Untuk diketahui, pada 2018 kinerja keuangan DKFT terbilang kurang memuaskan. Tahun lalu, DKFT masih mencatatkan rugi sebesar Rp 53,28 miliar.

Johanes melanjutkan, potensi pendapatan ekspor bijih nikel yang hilang ini nantinya akan tertutupi oleh peningkatan pendapatan dari penjualan feronikel.

Baca Juga: Ekspor Bijih Nikel Dilarang, Antam (ANTM) dan Vale (INCO) Evaluasi Strategi Bisnis

Kontan.co.id mencatat, tahun ini DKFT menargetkan penjualan bijih nikel sebanyak 1,01 juta metrik ton. Perinciannya, 200.000 metrik ton bijih nikel ke smelter, sementara sebanyak 818.000 metrik ton akan dijual ke pasar ekspor.

Sementara untuk penjualan feronikel, DKFT menargetkan dapat menjual sebanyak 39.200 metrik ton feronikel hingga akhir 2019.

DKFT kini tengah meneruskan pengembangan smelter feronikel tahap II berkapasitas 200.000 metrik ton feronikel per tahun yang saat ini memasuki studi kelayakan. 

Smelter yang berlokasi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah ini akan mulai dibangun pada 2020 dan diperkirakan rampung pada pertengahan 2022.

Sebelumnya, DKFT telah membangun smelter tahap I pada 2017 silam dengan kapasitas 100.000 metrik ton feronikel per tahun menggunakan Blast Furnance Technology.

Terakhir, Johanes berharap wacana pemerintah ini dapat berpengaruh terhadap stok nikel di pasar global sehingga harga nikel dapat terus membaik.

“Sehingga industri nikel di Indonesia dapat berkembang dan khususnya pengusaha smelter dapat terus menyelesaikan proyek-proyeknya hingga selesai,” tutup Johanes.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi