KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) buka suara soal penyebab menurunnya kinerja ekspor biodiesel yang anjlok hingga 70%. Sebelumnya, berdasarkan catatan Kontan.co.id, Plt. Dirjen EBTK Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu mengungkapkan, hal ini terjadi karena berbagai tantangan bioenergi dalam negeri terdiri dari teknologi, ekonomi, infrastruktur, berkelanjutan suplai hingga keberterimaan masyarakat. Selain itu, ada juga tantangan keterbatasan lahan untuk ditanami bioenergi berhadapan dengan isu konservasi alam, adalah hal yang kompleks yang perlu diselesaikan secara hati-hati dengan melibatkan seluruh stakeholder khususnya dari sisi hulu.
Baca Juga: Menilik Kenaikan Harga Biodiesel dan Pengaruhnya ke Emiten Sawit Dari sisi ekonomi, lanjut dia, industri bioenergi menghadapi tantangan biaya produksi yang seringkali lebih tinggi dibanding energi fosil dan keterbatasan insentif yang dapat diberikan pemerintah. Ketua Gapki Eddy Martono mengatakan, ekspor produk sawit di Indonesia dominasi oleh produk hilir. Bukan hanya Biodiesel namun juga komoditas sawit untuk pangan dan oleochemical. “Volume ekspor cenderung menurun karena pertumbuhan ekonomi negara pengimpor yang kurang baik dan suplai minyak nabati lain yang meningkat,” ungkapnya saat ditemui Kontan, dalam acara Diskusi Publik Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit yang dilaksanakan di gedung Ombudsman, di kawasan Jakarta Selatan, Senin (27/05).
Baca Juga: Apkasindo Sebut Target Prabowo Soal Program B50 Terancam Gagal, Ini Alasannya Ia menambahkan, produksi selama 2020-2022 relatif stagnan, tetapi 2023 sedikit lebih tinggi dari 2022. Hal ini antara lain karena adanya penambahan luas areal kelapa sawit selama 2017–2020 seluas 540.000 Ha. “Di mana, seluas 260.000 Ha telah menjadi areal TM atau Tanam tahun 2017 hingga 2020,” ungkapnya. Disisi lain Ernest Gunawan selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mengatakan, pihaknya tidak khawatir dengan penurunan ekspor Biodiesel tersebut. “Kalau untuk B40 sih seharusnya bisa terserap ya, jadi untuk domestik. Kalau nanti B40, karena kan katanya dalam waktu dekat akan mulai B40 ya, tapi kita masih lihat juga detailnya. Karena memang kalo ke Uni Eropa pasti turun (ekspor) karena ada UU Anti Deforestasi,” jelasnya.
Baca Juga: Biar Produksi Sawit Tak Turun, Gapki Ingatkan Replanting Sawit Setelah Usia 25 Tahun Ia menambahkan, sekalipun bisa mengekspor Biodiesel ke Eropa, pihaknya masih harus menanggung
import tax atau pajak impor yang diberlakukan oleh negara tujuan. “Tapi karena B40 kan jadi kita menyerap untuk domestik saja. Sejauh ini sudah dalam tahap pengujian di sektor non-otomotif,” tambahnya. Jika program B40 jadi dilaksanakan Ernest mengatakan dengan kebutuhan 38 juta KL solar industri dan non-industri, maka kebutuhan biodiesel adalah kebutuhan biodiesel adalah 40% dikali dari total kebutuhan solar. “Kalau kuotanya kita kali 40% saja dengan 38 juta KL, jadi kurang lebih 15,2 juta KL,” tambahnya.
Baca Juga: Gapki Ungkap Kekhawatiran Program Biodiesel B40 Prabowo-Gibran Ia mengatakan kapasitas untuk B40 masih bisa terpenuhi, namun jika harus naik lagi hingga B50, dengan menurunnya lahan dan produksi sawit, hal ini akan sulit tercapai. “Harusnya bisa (B40), tapi kalau B50 gak cukup. Anggota kami harus 78% harus jalan semua (produksinya),” tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto