Ekspor buah terhambat produksi dan persyaratan



JAKARTA. Sebagai negara tropis, sebenarnya Indonesia punya potensi mengembangkan pasar ekspor buah-buah tropis. Toh banyak kendala menghambat. Antara lain karena tingkat produksi yang rendah dan kualitas buruk. Padahal persyaratan soal mutu ini di sejumlah negara tujuan ekspor sangat ketat.

"Produksi buah-buahan masih sedikit, karena belum adanya kawasan khusus untuk komoditas ini," ujar Hasan Wijaya, Ketua Asosiasi Eksportir Buah Indonesia (AEBI), Senin (28/11).

Menurut Hasan, baru ada beberapa buah saja yang berhasil diproduksi dalam skala besar. Contohnya, buah mangga. Buah khas daerah tropis ini tidak hanya diproduksi oleh petani kecil saja, tetapi juga sudah diproduksi perusahaan besar.


Sementara, buah lain yang juga berpotensi ekspor, hanyalah hasil budidaya petani kecil. Itu pun dengan sistem budidaya tradisional, tergantung musim. "Seperti alpukat dan salak, kalau dikembangkan, banyak permintaan dari luar negeri," tandas Hasan.

Hasan juga mengakui, buah-buahan Indonesia memiliki beragam kualitas. Hal itu bisa saja menghambat ekspor. "Tapi, ada untungnya juga, karena importir tinggal memilih mau beli kualitas yang seperti apa," ujar Hasan.

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ekspor golongan buah-buahan (HS 08) pada periode Januari-September 2011 mencapai US$ 294,99 juta, naik 60,43% dari periode sama tahun lalu senilai US$ 183,87 juta. Sementara volume ekspor tahun ini sudah mencapai 309.981 ton, naik 68,50% dari ekspor tahun lalu sebesar 183.871 ton.

Namun angka ini termasuk dengan ekspor kelapa dan kacang-kacangan. Tanpa dua komoditas itu, ekspor buah-buahan pada periode tersebut hanya US$ 10,5 juta, atau turun 20,15% dari tahun 2010. Volumenya juga turun 31,99%.

Zaenal Bachrudin, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Kementerian Pertanian (Kemtan), mengatakan, kebijakan importir juga menyulitkan pengembangan ekspor buah Indonesia. "Importir sering kali mengajukan persyaratan aneh-aneh dan beragam," kata Zaenal, kemarin.

Zaenal menjelaskan, untuk negara tujuan ekspor ke Jepang, mewajibkan bebas lalat buah dan telur lalat buah. Untuk memenuhi syarat ini, eksportir harus memberikan perlakuan khusus yaitu dengan pemanasan.

Kemudian, untuk tujuan ke Singapura, biasanya lebih menekankan kepada kadar cemaran zat kimia dalam buah. Sedangkan China, untuk salak misalnya, meminta harus berasal dari petani yang sudah teregistrasi. "Beragam persyaratan ini membuat kami harus terus mengawal petani agar menghasilkan buah-buahan yang sesuai permintaan," jelas Zaenal.

Dody Edward, Direktur Pengembangan Produk Ekspor dan Ekonomi Kreatif Kementerian Perdagangan (Kemdag), menambahkan, panjangnya jalur distribusi perdagangan di dalam negeri juga menjadi salah satu kendala. "Selain berbiaya tinggi, hal itu juga menurunkan kualitas karena buah bisa rusak saat perjalanan," jelas Dody.

Menurut Dody, Kemdag akan meniru langkah Thailand untuk mengembangkan ekspor buah. Itu dengan cara menerapkan sistem pengumpulan buah-buahan pada pasar induk. Pasar induk itu harus memiliki jalur distribusi lokal dan ekspor.

"Cara ini bakal menghemat biaya daripada cara langsung yang selama ini berjalan di kalangan eksportir," tandas Dody.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini