Ekspor China Terjun Bebas Pada Juni 2023, Terburuk Dalam 3 Tahun Terakhir



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Ekspor China terjun bebas pada Juni 2023, ini merupakan yang terparah sejak awal pandemi Covid-19 tiga tahun lalu. Ekonomi global yang lemah memberikan tekanan yang semakin besar kepada para pembuat kebijakan China untuk melakukan stimulus baru.

Dikutip dari Reuters, masa pemulihan ekonomi China pasca Covid telah melambat, para analis bahkan telah menurunkan proyeksi mereka terkait ekonomi China selama sisa tahun ini.

Data Biro Bea Cukai China mencatat ekspor merosot lebih buruk dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 12,4% secara year on year pada bulan Juni 2023. Penurunan ekspor juga terjadi sebesar 7,5% di bulan Mei lalu.


Juru Bicara Bea Cukai China, Lv Daliang menyalahkan kinerja buruk ekspor China saat pemulihan ekonomi global yang melemah, ditambah dengan melambatnya perdagangan dan investasi global, dan meningkatkan unilateralisme, proteksionisme dan geopolitik.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Mencapai Level Tertinggi Hampir 3 Bulan karena Inflasi AS Mereda

Tujuan ekspor yang melorot adalah ke Amerika Serikat. Hal ini disebabkan meningkatnya ketegangan diplomatik terkait teknologi chip dan isu-isu lainnya. 

Sementara ekspor China ke Rusia tercatat meningkat.

Kinerja ekspor setidaknya menyumbang sekitar seperlima dari ekonomi China. Sementara sektor properti yang juga sedang bermasalah menyumbang sekitar sepertiganya.  Prospek pertumbuhan ekonomi China lesu seiring dengan pandemi Covid yang menghantam ekonominya pada tahun 2022.

Ekonom Capital Econmics China Zichun Huang menyampaikan penurunan gpermintaan barang secara global akan terus membebani ekspor. Ia bahkan memperkirakan penurunan ekspor akan terus berlanjut bahkan menuju titik terendahnya menjelang akhir tahun ini.

"Namun kabar baiknya adalah terjadi penurunan dari impor," katanya dikutip dari Reuters.

Tercatat impor China pada bulan Juni juga mengalami kontraksi tajam sebesar 6,8%, melampaui dari perkiraan awal sebesar 4,0%. Sebelumnya pada Mei juga mengalami kontraksi sebesar 4,5%.

Impor semikonduktor China turun 13,6% di bulan Juni, dan melambat dari penurunan 15,3% pada Mei. Hal ini menandakan terbatasnya minat produsen China untuk mengekspor kembali komponen dalam bentuk barang jadi. 

Permintaan untuk bahan baku juga menunjukkan tanda pelemahan dengan impor tembaga turun 16,4% pada bulan Juni dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Berdasarkan analisis Reuters, Ekonomi China diprediksi mengalami pertumbuhan sebesar 7,3% pada kuartal kedua tahun ini, ketika karantina wilayah di Shanghai dan kota-kota besar lainnya telah mengurangi produksi mereka, sementara pertumbuhan untuk satu tahun penuh diperkirakan mencapai 5,5%. 

Data produk domestik bruto (PDB) kuartal kedua China akan dirilis pada Senin depan oleh Biro Statistik.

Baca Juga: Jika Jepang Ngotot Buang Air Radioaktif, Hong Kong Bakal Larang Impor Makanan Laut

Pemerintah pada awal tahun telah menetapkan target pertumbuhan PDB moderat negara ini sekitar 5%, pasalnya perkiraan target tahun lalu jauh meleset.

Ekonomi senior Economics Intelligence Unit, Xu Tianchen menyampaikan ekspor yang lemah dan tekanan deflasi akan menambah permintaan stimulus, namun dirinya menilai skala dukungan untuk kebijakan stimulus tidak akan besar.

Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan fiskal pemerintah China, dimana pemerintah perlu utang lebih banyak untuk mendanai pengeluaran negara yang lebih besar.

Perdana Menteri China Li Qiang yang baru diangkat pada Maret lalu telah berjanji untuk meluncurkan langkah kebijakan untuk mendorong kembali permintaan pasar, namun dari kebijakan yang telah diumumkan, terlihat hanya sedikit langkah konkrit yang diambil, hal ini membuat para investor menjadi tidak sabar.

Bahkan nilai mata uang yuan tergilincir terhadap dollar setelah data ini dirilis, namun para analis memprediksi pemelemahan mata uang tersebut akan terbatas karena para investor tengah fokus pada pertemuan Politbiro yang akan berlangsung bulan depan, dan setidap tindakan yang diambil terkait potensial pada stimulus ekonomi.

"Pertanyaan besarnya adalah apakah dalam permintaan domestik dapat pulih tanpa banyak stimulus," kata Zhiwei Zhang, Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management.

Sementara itu produksi pabrik di China telah menyusut dalam beberapa bulan terakhir, ditambah harga-harga barang konsumsi tertatih-tatih di tepi deflasi di bulan Juni, dan harga-harga produsen turun tajam dalam waktu yang cepat dan menjadi yang terburuk dalam lebih dari tujuh tahun terakhir.

Editor: Herlina Kartika Dewi