TOKYO. Ekspor Jepang kembali terjungkal ke level yang cukup mini pada bulan Januari seiring dengan resesi di AS dan Eropa belum enggan beranjak. Ekspor kendaraan dan elektronik pun mandek. Ekspor menciut 47,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menurut Menteri Keuangan yang membeberkan data ini pada hari Rabu (25/2), ekspor mencatatkan penurunan yang paling besar sejak 1980. Sejumlah ekonom memprediksi kemerosotan ini hingga 45,9%. Bulan lalu, ekspor meluruh 35% dibandingkan bulan sebelumnya. Gross domestic product (GDP) terjungkal 12,9% pada kuartal lalu, paling besar sejak guncangan minyak pad atahun 1974. Toyota Motor Corp., Sony Corp. dan Hitachi Ltd. -- semuanya diprediksikan membukukan kerugian -- telah memecat ribuan pekerja untuk menopang perusahaaan di tengah risiko resesi yang akan semakin mendalam. "Ini merupakan penyusutan yang paling besar sejak Perang Dunia II," kata David Cohen, Director of Asian Economic Forecasting untuk Action Economics di Singapura. Menurutnya, orang-orang tak sepenuhnya mengapresiasi seserius apa kemerosotan yang terjadi di AS dan Eropa, melupakan bagaimana ekspor begitu digantungkan oleh Jepang. Perekonomian Jepang, yang meruppakan terbesar kedua di dunia, kemungkinan terjerembap 4% di tahun fiskal yang akan dimulai pada 1 April mendatang, lebih cepat dari yang diprediksikan semula yaitu hanya 2,9%. Angka ini muncul dari perkiraan tengah 15 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg. Minggu lalu, Bank of Japan menegaskan bahwa pihaknya akan membeli corporate bonds untuk yang pertama kalinya, dan memperlebar program pembelian aset untuk mencegah kredit jangka pendek dari resesi yang kian memburuk ini. Gubernur BoJ Masaaki Shirakawa dan koleganya telah memangkas suku bunga acuan menjadi 0,1% di bulan Desember tahun lalu. Pemerintah telah gagal untuk menggelontorkan paket stimulus yang bisa menopang pembelanjaan domestik di tengah sepinya pasar ekspor. Perdana Menteri Taro Aso kini tengah berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari pihak oposisi senilai 10 triliun yen atau setara dengan US$ 111 miliar untuk membantu sejumlah perusahaan dan rumah tangga. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ekspor Jepang Menyusut 45,7%
TOKYO. Ekspor Jepang kembali terjungkal ke level yang cukup mini pada bulan Januari seiring dengan resesi di AS dan Eropa belum enggan beranjak. Ekspor kendaraan dan elektronik pun mandek. Ekspor menciut 47,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menurut Menteri Keuangan yang membeberkan data ini pada hari Rabu (25/2), ekspor mencatatkan penurunan yang paling besar sejak 1980. Sejumlah ekonom memprediksi kemerosotan ini hingga 45,9%. Bulan lalu, ekspor meluruh 35% dibandingkan bulan sebelumnya. Gross domestic product (GDP) terjungkal 12,9% pada kuartal lalu, paling besar sejak guncangan minyak pad atahun 1974. Toyota Motor Corp., Sony Corp. dan Hitachi Ltd. -- semuanya diprediksikan membukukan kerugian -- telah memecat ribuan pekerja untuk menopang perusahaaan di tengah risiko resesi yang akan semakin mendalam. "Ini merupakan penyusutan yang paling besar sejak Perang Dunia II," kata David Cohen, Director of Asian Economic Forecasting untuk Action Economics di Singapura. Menurutnya, orang-orang tak sepenuhnya mengapresiasi seserius apa kemerosotan yang terjadi di AS dan Eropa, melupakan bagaimana ekspor begitu digantungkan oleh Jepang. Perekonomian Jepang, yang meruppakan terbesar kedua di dunia, kemungkinan terjerembap 4% di tahun fiskal yang akan dimulai pada 1 April mendatang, lebih cepat dari yang diprediksikan semula yaitu hanya 2,9%. Angka ini muncul dari perkiraan tengah 15 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg. Minggu lalu, Bank of Japan menegaskan bahwa pihaknya akan membeli corporate bonds untuk yang pertama kalinya, dan memperlebar program pembelian aset untuk mencegah kredit jangka pendek dari resesi yang kian memburuk ini. Gubernur BoJ Masaaki Shirakawa dan koleganya telah memangkas suku bunga acuan menjadi 0,1% di bulan Desember tahun lalu. Pemerintah telah gagal untuk menggelontorkan paket stimulus yang bisa menopang pembelanjaan domestik di tengah sepinya pasar ekspor. Perdana Menteri Taro Aso kini tengah berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari pihak oposisi senilai 10 triliun yen atau setara dengan US$ 111 miliar untuk membantu sejumlah perusahaan dan rumah tangga. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News