Ekspor kakao Januari turun 36,3%



JAKARTA. Kinerja ekspor kakao di Bulan Januari 2011 kurang menggembirakan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemdag), ekspor kakao Januari kemarin hanya US$ 92,79 juta. Nilai ini merosot 36,3% dari kinerja ekspor Januari tahun lalu yang masih membukukan nilai sebesar US$ 145,59 juta.Deddy Saleh, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, mengatakan bahwa penurunan ekspor kakao ini merupakan dampak penerapan bea keluar (BK) biji kakao yang diberlakukan sejak April 2010. Pengenaan BK membuat biji kakao lebih banyak terserap untuk bahan baku industri pengolahan dalam negeri daripada diekspor ke negara lain. Ini terlihat dari peningkatan ekspor produk kakao pada Januari 2011 baik dari sisi nilai maupun volumenya. Dari sisi nilai, ekspor kakao olahan meningkat 24,6% dari Januari 2010, sementara dari volumenya naik 71%. "Jadi positifnya, turunnya ekspor kakao itu karena lebih banyak digunakan oleh industri pengolahan domestik," kata Deddy, akhir pekan lalu.Zulhefi Sikumbang, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), mempunyai pandangan berbeda terkait penyebab turunnya ekspor kakao Januari kemarin. Menurutnya, penurunan ini lebih disebabkan oleh turunnya produksi kakao akibat faktor cuaca buruk. Pada periode Januari-Maret, produksi kakao nasional biasanya memang sedikit terhambat karena faktor cuaca tersebut.Beberapa daerah produsen kakao seperti Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, dan beberpa daerah di Sulawesi Tengah menurun drastis. "Penyebabnya mutlak akibat penurunan produksi bukan karena lebih banyak diserap industri pengolahan domestik," ujarnya kepada KONTAN, Senin (4/4). Produksi kakao akan berangsur normal pada April dan Mei yang biasanya waktu untuk panen raya.Zulhefi bilang, pengenaan BK memang akan menstimulus industri pengolahan dalam negeri. Industri bisa mendapatkan kakao dengan harga yang lebih murah dibanding sebelum pengenaan BK. Efeknya, industri pengolahan akan lebih bergairah dalam memacu produksi kakao olahan. Sayangnya, kondisi demikian tidak sepenuhnya terjadi. Penerapan BK kakao yang sudah setahun ini tidak berdampak banyak pada penguatan industri pengolahan domestik, terlihat dari kapasitas pengolahannya. Saat ini ada sekitar 14 perusahaan pengolahan dengan kapasitas terpasang mencapai 250.000 ton. Sebelum pemberlakuan BK, kapasitas yang termanfaatkan sekitar 130.000 ton per tahun. Setelah adanya BK, peningkatan kapasitas pengolahan ternyata hanya 20% menjadi sekitar 170.000 ton/tahun. "BK ini kan stimulus yang luar biasa besar bagi industri, seharusnya dalam setahun kapasitasnya bisa mencapai titik maksimum," tandas Zulhefi. Di sisi lain, produksi kakao tahun 2011 diprediksi turun dari tahun sebelumnya. Pada 2010, produksi kakao nasional sekitar 600.000 ton. Tahun ini, Askindo memprediksi produksinya akan turun 20% menjadi sekitar 500.000 ton saja. Faktor cuaca buruk dan serangan hama penggerek buah kakao (PBK) menjadi penyebabnya. "Ini yang membuat produksi kakao tahun ini bisa turun 20%," jelas Zulhefi.Meski tidak berdampak secara langsung, pengenaan BK juga berpotensi menghambat produksi kakao nasional. Dengan BK ini, harga kakao di tingkat petani tergerus sekitar Rp 3.000 per kg. Sebelum adanya BK, petani masih bisa menikmati harga sebesar Rp 25.000 per kg. Kini, petani hanya mendapatkan harga sekitar Rp 22.000 per kg. Keuntungan yang tidak setimpal ini membuat petani banyak yang beralih ke komoditas lain seperti jagung, karet, dan kelapa sawit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Test Test