Ekspor Kakao Kena Bea Keluar 0-15%



JAKARTA. Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang, akhirnya pemerintah memutuskan mengenakan bea keluar (BK) biji kakao sesuai aturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. "Biji kakao akan dikenakan BK secara progresif mulai 1 April 2010," kata Benny Wahyudi, Direktur Jenderal Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian, Kamis (25/3).

Dalam aturan tersebut, semakin tinggi harga kakao maka semakin tinggi BK yang harus dibayar eksportir. Jika harga rata-rata kakao di New York Board of Trade (NYBOT) di bawah US$ 2.000 per ton, maka tarif BK 0%. Tapi jika harga rata-rata kakao US$ 2.000-US$ 2.750 per ton, maka BK-nya sebesar 5%. Jika harga rata-rata kakao di atas US$ 2.750-3.500 per ton maka BK-nya sebesar 10%. Namun bila harga melampaui US$ 3.500, BK yang dikenakan adalah 15%.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan Diah Maulida mengatakan, pihaknya sedang menghitung besaran rata-rata harga kakao yang akan dijadikan panduan untuk menentukan besarnya tarif BK tersebut.


Diah bilang, untuk menentukan besarnya tarif BK kakao tersebut, Kementerian Perdagangan harus mengumpulkan data-data transaksi perdagangan dalam jangka waktu tertentu. "Nanti saja diumumkan, yang jelas sedang menunggu persetujuan Menteri Perdagangan," jawab Diah yang belum mau mengumumkan berapa besarannya.

Sementara itu, menurut perhitungan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), ekspor kakao pada 1 April 2010 nanti kemungkinan akan dikenakan BK sebesar 10%, karena harga rata-rata kakao saat ini sekitar US$ 2.800- US$ 3.000 per ton.Harga kakao turun

Sejak awal, rencana penerapan kebijakan BK untuk kakao ini sudah dapat penolakan dari Askindo yang merupakan organisasi para pengekspor kakao. Bahkan, "Kami sudah kirimkan surat penolakan itu ke Menteri juga Presiden,” kata Halim Razak, Ketua Umum Askindo.

Sayang, permintaan Askindo agar pemerintah membatalkan pengenaan BK untuk kakao tersebut diabaikan oleh pemerintah. Padahal, Halim bilang, pungutan BK itu akan mempengaruhi pasar kakao terutama, pasar didalam negeri. Ia menyatakan, harga kakao dari petani dipastikan akan mengalami penurunan karena eksportir tidak bisa menangung biaya BK yang ditetapkan.

Contohnya, saat ini, sebelum penerapan aturan BK tersebut, harga kakao dari petani adalah Rp 23.000 per kg. Namun, setelah kebijakan BK tersebut diberlakukan maka eksportir hanya mampu membeli kakao dari petani dengan harga harga Rp 18.000 per kg. ”Selisihnya itu untuk membayar BK,” kata Halim.

Halim memaparkan, alasan pemerintah menerapkan aturan BK tersebut adalah untuk memancing pertumbuhan industri hilir kakao di dalam negeri yang sulit berkembang. Dengan kebijakan itu, pemerintah berharap ekspor kakao lebih banyak dalam bentuk olahan sehingga Indonesia tidak menjadi eksportir bahan baku saja.

Namun, Halim menilai alasan pemerintah tersebut tidak kuat. Pasalnya, industri pengolahan kakao hanya mampu menyerap 150.000 ton kakao per tahun. "Kapasitas mesinnya 230.000 ton, tapi yang terisi cuma 150.000 ton, artinya industri ini tidak menyerap,” jelasnya. Dus, sisa produksi kakao Indonesia yang mencapai 500.000 ton per tahun, harus dijual ke pasar ekspor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test