MEDAN. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut menyambut gembira dan memberi apresiasi kepada pemerintah yang tidak memasukkan karet sebagai barang ekspor wajib menggunakan letter of credit (L/C) "Berita karet tidak wajib L/C atau jaminan bank itu menggembirakan, karena sejak awalpun Gapkindo keberatan dan menolak rencana kebijakan tersebut," kata Sekretaris Gapkindo Sumut Edy Irwansyah di Medan, Senin. Dia mengatakan itu mengomentari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil di Jakarta, akhir Desember 2014 yang menegaskan bahwa komoditas ekspor yang bakal terkena wajib L/C adalah sumber daya alam, mineral, batu bara dan CPO.
Wajib L/C itu akan diberlakukan mulai April 2015 untuk mengontrol devisa sehingga meningkatkan devisa negara. Menurut Sofyan Djalil, peraturan itu sedang dipersiapkan Kementerian Perdagangan. Seperti diketahui, kata dia, untuk menopang kualitas lingkungan global dan memperlancar perolehan hasil devisa ekspor, Pemerintah pada 5 Januari 2009 lalu melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 1/2009 telah mengatur kewajiban 5 kategori barang ekspor wajib menggunakan L/C untuk pembayaran hasil ekspor melalui bank devisa domestik. Total ada 46 pos tarif/HS (Kode Harmonisasi) dari lima kategori barang ekspor wajib L/C, yakni kopi (10 HS), minyak sawit/CPO (1 HS), produk pertambangan (16 HS), kakao (1 HS) dan karet (19 HS). Seyogianya wajib L/C itu berlaku mulai 5 Maret 2009, namun setelah melalui tiga kali perubahan maka melalui Permendag No. 57/2010 wajib L/C berlaku sejak 1 Juli 2010 dengan ketentuan apabila nilai ekspor per dokumen PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) lebih dari 1 juta dolar AS. Namun, kata Edy, Pemerintah sejak 24 Juni 2010 mencabut kebijakan wajib L/C tersebut. "Wacana wajib L/C itu baru kembali mengemuka saat acara Musrembang Nasional pada 18 Desember 2014 di Jakarta dimana Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan di hadapan ratusan kepala daerah bahwa Pemerintah akan mengatur semua ekspor yakni dengan penetapan L/C," katanya. Tentu saja, kata dia, wacana Pemerintah itu langsung meresahkan eksportir khususnya karet dan beberapa komoditas lainnya seperti kopi yang nilai ekspornya per dokumen tidak sampai 1 juta dolar AS. Apalagi, alasan Pemerintah memberlakukan L/C itu sebagai kontrol devisa tidak tepat karena Pemerintah melalui Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 13/20/PBI/2011 tanggal 30 September 2011) sudah mengeluarkan peraturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dimana seluruh eksportir diwajibkan mencantumkan nilai DHE dalam dokumen PEB.
Dia menegaskan, pemberlakuan wajib L/C akan merugikan eksportir kecil mulai dari akibat timbulnya biaya tinggi dari biaya provisi untuk pembukaan dan pencairan L/C yang besarnya 0,125 persen dari total nilai transaksi dan juga biaya penerusan L/C dari bank pembuka di luar negeri ke bank DHE dalam negeri. Kerugian juga dari adanya potensi kerugian apabila pembeli terlambat bayar dan gagal "buyer" (beli) Waktu pencairan DHE berpotensi lebih lama karena urusan pencairan DHE tidak langsung ke pembeli, melainkan ke bank DHE terlebih dahulu Kerugian juga akibat adanya 'discrepency fee' apabila uraian yang tercantum di L/C tidak sesuai dengan dokumen yang diajukan eksportir. "Dengan adanya pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil itu yang menegaskan karet tidak masuk dalam hal wajib L/C disambut gembira. Pemerintah memang harus mendukung komoditas ekspor karet yang dewasa ini juga sedang dalam tekanan dimana harga dan permintaan anjlok," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa