Ekspor Manufaktur Loyo di Pasar Global, Lemah di Pasar Lokal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia butuh ekspor sebanyak mungkin! Begitu amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto. Presiden Jokowi menilai, Indonesia sudah terlalu banyak mengimpor barang dan jasa.

Bahkan, barang remeh temeh yang sebenarnya bisa dibuat industri di dalam negeri, seperti pacul dan cangkul pun masih banyak impor dari China.

“Puluhan ribu, ratusan ribu cangkul yang dibutuhkan masih impor. Apakah negara kita yang industrinya sudah berkembang, pacul dan cangkul harus impor? Ini baru satu barang, barang lain masih ribuan,” kata Jokowi, belum lama ini.


Jokowi menilai impor memang lebih mudah lantaran harga produknya jauh lebih murah ketimbang buatan lokal. Meski demikian, dia menilai banyaknya impor justru akan membengkakkan defisit neraca perdagangan Indonesia.

Pernyataan Presiden tersebut bukan tanpa alasan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang keluar pada Jumat (15/11), neraca perdagangan sepanjang Januari–Oktober tercatat masih defisit sebesar US$ 1,79 miliar.

Total ekspor periode tersebut tercatat US$ 139,11 miliar, turun 7,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Adapun kinerja impor kumulatif kurun waktu Januari–Oktober 2019, tercatat sebesar US$ 140,9 miliar. Angka tersebut turun 9,94% dibanding periode sama tahun lalu sebesar US$ 156,4 miliar.

Kinerja ekspor sulit membaik karena ekspor Indonesia yang masih mengandalkan komoditas, rentan terhadap pergerakan harga. BPS mencatat ekspor Indonesia didominasi oleh bahan bakar mineral, utamanya batubara serta minyak dan lemak hewan/nabati  seperti minyak sawit mentah (CPO). “Tantangan ke depan luarbiasa. Harga komoditas berfluktuasi,” kata Kepala BPS Suhariyanto.

Kendati secara kumulatif defisit, secara bulanan (month-on-month/MoM), neraca dagang Oktober tercatat surplus sebesar US$ 161 juta, membaik dibanding bulan sebelumnya yang defisit US$ 163,9 juta.

Perinciannya ekspor pada Oktober tercatat sebesar US$ 14,92 miliar, naik 5,92% dibandingkan dibandingkan bulan lalu yang sebesar US$ 14,1 miliar. Sementara impor naik 3,57% dari US$ 14,26 miliar pada September menjadi US$ 14,77 miliar. “Total impor setelah dikurangi ekspor masih surplus US$ 161,3 juta,” ujar Suhariyanto.

Pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan banyak jurus guna menggenjot ekspor. Tapi, jurus itu belum ampuh-ampuh amat. Maka, pemerintah kembali melakukan sejumlah upaya menekan impor. Salah satunya dengan memberlakukan mandatori biodiesel 30% (B30).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah mulai melakukan uji coba penggunaan B30 di sektor transportasi pada November 2019. “Bila implementasi B30 dilaksanakan secara formal pada Januari 2020, diproyeksikan akan menghemat devisa US$ 4,8 miliar sepanjang 2020,” katanya.

Barang modal turun

Langkah lain yang akan dilakukan dalam menekan impor adalah revitalisasi Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) untuk mensubstitusi impor produk petrokimia, pengembangan program gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai upaya substitusi Liquified Petroleum Gas (LPG), dan pengembangan green refinery.

Sementara upaya menggenjot ekspor adalah dengan mempermudah izin bagi pelaku usaha yang berorientasi ekspor.

Hal senada juga disampaikan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto. Guna mendorong ekspor, pihaknya akan menyederhanakan peraturan yang menghambat dunia usaha terutama dalam hal ekspor. Menurutnya, pelaku usaha telah menyampaikan masukan apa-apa saja yang menghambat perdagangan. “Nanti kami akan evaluasi lebih dalam,” ujarnya.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono bilang, di tengah tantangan eksternal maupun internal yang ada, perlu untuk mengarahkan kembali ekspor dari produk primer ke produk industri atau olahan, dan diversifikasi produk ekspor.

Menurutnya, kondisi ekspor Indonesia lebih berfokus pada bahan baku yang tidak memiliki pertambahan nilai. “Indonesia harus bisa membaca permintaan ekspor agar dapat andil dalam perdagangan dunia,” ujarnya.

Namun, upaya menggenjot ekspor industri olahan nampaknya tidak mudah. Sebab, impor barang modal dan bahan baku yang digunakan industri dalam negeri tercatat menurun. “Impor barang konsumsi turun tidak apa-apa. Tapi kalau bahan baku yang turun tentunya harus dicermati,” kata Suhariyanto.

BPS melaporkan, volume impor bahan baku dan penolong Januari–Oktober 2019 mencapai 124,7 juta ton, turun 5,45% dibanding Januari–Oktober 2018 yang tembus 131,9 juta ton. Sementara, impor barang modal tercatat sebesar US$ 23,45 miliar atau turun US$ 4,94 miliar. Khusus impor barang konsumsi mencapai US$ 13,1 miliar, turun  8,31% dibanding waktu yang sama tahun lalu.

Nah, rendahnya impor bahan baku itu mengonfirmasi data pertumbuhan industri manufaktur dari sisi produksi. Berdasarkan hasil riset IHS Markit, angka purchasing manager index (PMI) manufaktur pada bulan Oktober turun ke level 47,7 dari posisi September lalu sebesar 49,1. Skor PMI manufaktur Indonesia yang berada di bawah level 50, menunjukkan bahwa terjadi kontraksi pada manufaktur dari sisi produksi.

Di sisi lain, perkembangan impor bahan baku dan barang modal yang agak mengkhawatirkan ini membuat prospek investasi menjadi samar-samar. Apakah investasi mampu tumbuh 18,4% seperti pada kuartal III 2019? Pasalnya, impor bahan baku dan barang modal akan berubah menjadi realisasi investasi dalam tempo beberapa bulan ke depan.

Barang modal turun

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda melihat kondisi manufaktur memang sedang turun akibat kuatnya tekanan global. Ditambah daya beli masyarakat di pasar domestik belum membaik. Dalam kondisi ini, sulit mengharapkan ekspor industri olahan bisa meningkat di pasar global.

Begitu juga dengan ekspor komoditas bahan baku alam. Menurutnya, sulit menggenjot ekspor komoditas di tengah lesunya permintaan pasar ekspor menyusul perang dagang dua raksasa ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China.  “Makanya kalau dilihat dari trennya, defisit neraca dagang masih akan berlanjut hingga akhir tahun. Sangat pesimis bisa surplus,” ujar Nailul.

Nah, yang paling mungkin menjadi fokus pemerintah memperbaiki neraca dagang adalah dengan mengendalikan impor barang konsumsi sehingga diharapkan defisitnya semakin menyempit.

Wakil Ketua Umum Kadin  DKI Bidang Pangan dan Sumber Daya Kelautan, Erwin Taufan, setuju dalam upaya mengurangi defisit neraca dagang, maka sebaiknya impor yang dapat dikurangi adalah impor barang konsumsi dan energi.

Sementara, impor bahan baku penolong dan barang modal jangan dikendalikan karena akan membuat kinerja industri makin merosot. “Impor barang modal harus dilakukan untuk mendorong industri,” ujarnya.

Menurut Erwin, ada banyak pelaku UMKM masih membutuhkan impor barang modal dan bahan baku. Sementara untuk mengimbangi perdagangan dengan China, perlu diintensifkan lagi negosiasi perdagangan dengan Negeri Tirai Bambu tersebut. “Misal kalau industri dia masuk, tolong komoditi kita juga dimudahkan,” jelasnya.

Sementara upaya menggenjot ekspor perlu dilakukan dengan menarik investasi sebanyak mungkin. Maka itu, insentif fiskal dan berbagai kemudahan tetap diperlukan dunia usaha. “Hanya implementasi di lapangan banyak yang tak efektif,” cetusnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri