Ekspor masih stagnan, potensi UMKM belum tergali maksimal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren pelemahan nilai tukar rupiah semestinya menjadi momentum bagus untuk menggenjot ekspor. Namun, Kementerian Perdagangan mencatat, pertumbuhan ekspor Januari-September 2018 baru mencapai 9,4% secara tahunan (yoy), timpang dengan pertumbuhan impor yang sebesar 23,3% yoy dalam periode yang sama.

Hingga akhir September, total ekspor non-migas mencapai US$ 122,31 juta atau tumbuh 9,29% yoy. Ekspor non-migas berkontribusi 90,61% terhadap keseluruhan ekspor Indonesia, terutama didorong oleh komoditas bahan bakar mineral (batubara), lemak dan minyak hewan maupun nabati, bijih, kerak dan abu logam, alas kaki, serta karet dan barang dari karet yang menjadi komoditi net ekspor terbesar sepanjang tahun ini.

Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Kemendag Merry Maryati menjelaskan, Kemdag berupaya memperbaiki neraca perdagangan dengan tidak lagi hanya melihat ke pasar tradisional, melainkan membuka akses pasar baru untuk produk-produk bernilai tambah tinggi.


"Kita sudah jajaki beberapa negara dan beberapa benua untuk non-tradisional market di antaranya buka akses pasar baru di Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah dan Amerika Selatan," ujar Merry dalam paparan diskusi Forum Warta Pena soal Potensi Ekspor di Tengah Pelemahan Rupiah, Rabu (7/11).

"Kita juga meningkatkan ekspor komoditi baru yang bernilai tambah tinggi, tidak hanya mengandalkan natural intensive product saja," lanjutnya.

Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Hadi Joewono mengatakan, menembus pasar baru ekspor memang menjadi salah satu upaya mendorong nilai ekspor lebih tinggi.

Potensi menembus pasar baru ekspor tersebut pun dimiliki oleh usaha kecil dan menengah (UKM) yang selama ini masih mandek ekspornya.

Sayangnya, Handito melihat, kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor belum terintegrasi dengan baik. "Mestinya Kemko Perekonomian perlu lebih galak mengoordinasikan pihak-pihak terkait ekspor," kata Handito, Rabu (7/11).

Melalui Gerakan Eksportir Nasional (GEN), Kadin mendorong upaya penambahan jumlah eksportir yang terbagi menjadi tiga pelaku. Pertama, kalangan perguruan tinggi alias mahasiswa yang memiliki banyak potensi dan inovasi untuk membuat produk layak ekspor.

Selanjutnya, pelaku industri kecil dan menengah (IKM) yang merupakan produsen barang-barang ekspor itu sendiri. Terakhir, UKM selaku pedagang (trader) yang fokus menjual barang-barang hasil produksi ke pasar luar negeri.

"Kami sedang gencar mengupayakan gerakan ini (GEN) dengan cita-cita mencetak 100.000 eksportir baru dalam kurun 10-14 tahun ke depan. Lebih cepat, lebih baik," ungkap Handito.

Sebab, aktivitas ekspor masih didominasi oleh korporasi besar dengan komoditas-komoditas yang tradisional. Padahal, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat ada sekitar 815.000 unit usaha kecil dan menengah di Indonesia per tahun 2017 dan memiliki potensi ekspor.

"Selama ini, ekspor UKM paling banyak di kriya dan makanan, tapi di satu sisi bahan baku dan komponennya masih tinggi impor," ujar Victoria Simanungkalit, Asisten Deputi Urusan Industri dan Jasa Kementerian Koperasi dan UKM.

Selain itu, Victoria juga mengatakan, anggaran pemerintah untuk penyelenggaraan pameran produk UKM di luar negeri juga terus turun, bahkan sampai 50% di tahun lalu.

Untuk itu, Kemkop memfasilitasi pemasaran produk UKM secara digital melalui Galeri Indonesia WOW atau website e-commerce Smesco Trade yang telah menjangkau 1.900 KUKM dan 74.000 item produk hingga sekarang.

Hanya saja, menurut Victoria, masih ada sejumlah tantangan bagi pelaku UKM dalam hal mengekspor produknya. Di antaranya, kecerdasan pasar (market inteligence) yang masih belum memadai, infrastruktur seperti ketersediaan jaringan internet, logistik, alat pembayaran dan pendampingan.

"UKM kita juga masih kurang mampu mengantisipasi tren sehingga cenderung menjadi follower dan sulit bersaing," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto