JAKARTA. Pintu ekspor mineral mentah kembali dibuka, meski ada ada beberapa syarat yang harus dipenuhi perusahaan yakni membayar bea keluar yang disesuaikan dengan perkembangan pembangunan pabrik pengolahan atau smelter. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, ada beberapa layer bea keluar untuk produsen mineral bila ingin ekspor. Bila kemajuan fisik smelternya 0% sampai 30% , perusahaan harus membayar tarif bea keluarnya 7,5%. Lalu, apabila sudah 30% sampai 50%, tarifnya adalah 5%. Selanjutnya, 50% sampai 75% tarif bea keluarnya adalah 2,5%. Sedangkan di atas 75% tarifnya adalah 0%. Adapun tarif bea keluar 10% untuk nikel kadar rendah dan bauksit.
Sekretaris Perusahaan PT Antam Tbk Trenggono mengatakan, ekspor nikel kadar rendah atau kandungan 1,7% Antam hingga saat ini masih dibahas perusahaan. Sebab, perusahaan ini juga masih menunggu kebijakan pemerintah atas kewajiban penyerapan dalam negeri. "Kami masih menunggu kebijakan selanjutnya dari pemerintah, soal kewajiban penyerapan nikel kadar rendah oleh smelter di negeri itu," ungkapnya ke KONTAN, Selasa (14/2). Opsi kedua melakukan ekspor. Sayang, Trenggono masih enggan besaran nikel kadar rendah yang akan diekspor nanti. Saat ini, nikel kadar rendah yang menumpuk di
stokpile milik Antam berjumlah 5 juta ton. "Soal besaran ekspor yang akan kami ajukan, kami belum dapat berkomentar karena menunggu kebijakan lanjutan," ujarnya. Menurut Trenggono, Antam akan patuh dengan besaran bea keluar yang akan dikenakan yakni 10% untuk mineral mentah. Maklum, ketimbang nikel kadar rendah tidak bisa diserap dalam negeri, Antam lebih memilih mengekspor. Hingga saat ini, kata Trenggono, proyek smelter Antam di Halmahera Timur akan segera dimulai konstruksi fisik di lokasi setelah ditunjuknya EPC Contractor pembangunan pabrik Ferronickel. Harapannya: konstruksi smelter dapat selesai di akhir tahun 2018 atau awal tahun 2019. Adapun, perluasan pabrik ferronikel di Pomalaa sudah hampir selesai, tinggal melakukan tes integrasi smelter. Setali tiga uang, Direktur PT Cocomant Minning,Ladjiman Damanik menyatakan, Cocomant masih menunggu petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian ESDM agar bisa melakukan kegiatan ekspor nikel kadar rendah. "Kami inginnya ekspor sebanyak-banyaknya, tapi untuk ekspor dilihat dari progres kemajuan smelter. Untuk jumlah, kita masih audit," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (14/2). Adapun kuota siap ekspor nikel yang dimiliki PT Cocomant Minning sekitar 27.000 ton nikel, sementara untuk pembangunan smelter melalui PT Pelangi Sapta Harapan yang sudah mencapai 50%. Artinya, pengenaan bea keluar ekspor nikel untuk perusahan ini hanya dikenakan 7,5%. "Soal pengenaan bea keluar kita sepakat karena itu sudah jelas. Kami segera ajukan ekspor,"ujarnya.
Sementara itu, Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) pernah menyatakan ke KONTAN bahwa produsen bauksit akan melakukan ekspor hingga 40 juta ton tahun ini. Terakhir produsen bauksit tersebut melakukan ekspor adalah mencapai 55 juta ton dari produksi 63 juta ton. Dia mengatakan, sumber daya alam mineral bauksit tersebar di Sumatera, Riau, Kepri, Lingga, Dabo-Singkep, di Kalbar, Kab.Ketapang, Sanggau, kab.Landak, Pontianak, di Kateng, Kab.Lamandau, Kotawaringin Barat dan Timur, Sampit. Data dari APB3I menyebutkan cadangan bauksit 1,25 miliar ton dan sumberdaya 7,5 miliar ton. " Jadi kalau ekspor selama 5 tahun ke depan, jumlah ekspor nya 40 juta ton per tahun, hanya 200 juta ton atau setara dengan 3,5% dari sumberdaya, sangat kecil sekali yang di ekspor," ungkap dia beberapa waktu yang lalu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini