JAKARTA. Meski harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) masih lesu, volume ekspor CPO dan turunannya terus berkibar. Data Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada Mei 2013, volume ekspor CPO meningkat sekitar 22,15% dibandingkan dengan Mei tahun lalu.Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, menjelaskan, ekspor CPO dan turunannya pada Mei 2013 menembus angka 1,82 juta ton. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, ekspor CPO dan turunannya 1,49 juta ton. "Kenaikan ekspor CPO ini karena peningkatan permintaan CPO di pasar dunia," kata Fadhil, kemarin (27/6).Selain lonjakan permintaan, kenaikan ekspor CPO dan turunannya ini terdorong minimnya persediaan minyak kedelai dunia. Maklum, produksi kedelai di sentra kedelai dunia seperti di Amerika Serikat (AS) dan Amerika Selatan terganggu cuaca. Di Argentina, misalnya, curah hujan tinggi sehingga menurunkan hasil panen kedelai.GAPKI mencatat, permintaan dari beberapa negara seperti India dan China meningkat. Mei lalu, India meminta 590.520 ton CPO, naik 8,17% dibandingkan 545.950 ton pada April 2013. China juga menaikkan pesanan sebesar 14,14% ketimbang permintaan April 2013. Lonjakan ekspor paling tajam dengan tujuan AS dan Bangladesh. sebagai contoh, permintaan dari AS melonjak 265,9% dari 9.700 ton di April menjadi 35.500 ton pada Mei 2013. Penurunan produksi kedelai, sebagai bahan baku biofuel, di negara ini menjadi pendorong permintaan CPO dari Indonesia. "Juli nanti, permintaan CPO makin tinggi karena permintaan meningkat," kata Fadhil. Menurut Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), selain membidik pasar tradisional ekspor CPO Indonesia, eksportir sawit negara ini harus membuka pasar baru tujuan ekspor untuk menaikkan penjualan. Salah satu pasar baru yang potensial adalah Afrika.Maklum, kebutuhan CPO di negara-negara Afrika cukup tinggi. "Sementara, total produksi CPO di Afrika baru sekitar 1,8 juta ton tandan buah segar (TBS)," kata Derom. Jika diolah, 1,8 juta ton TBS itu hanya menghasilkan sekitar 150.000 ton CPO.Namun, untuk masuk pasar Afrika tidak mudah. Sebab, bea masuk impor CPO di Afrika masih tinggi, yakni 30% sampai 35% . Makanya, ia meminta pemerintah Indonesia melobi pemerintah negara-negara Afrika supaya menurunkan bea masuk CPO.Lirik bisnis biodieselCuma, menggenjot ekspor belum tentu menguntungkan pada saat ini. Maklum, mulai Juli 2013, Kementerian Perdagangan (Kemdag) menaikkan bea keluar ekspor CPO, menjadi 10,5% dari harga. "Persentase ini naik 1,5% dibandingkan dengan bea keluar pada Juni," ujar Bachrul Chairi, Direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemdag. Besaran bea keluar ekspor CPO ini mengacu pada harga referensi CPO yang sebesar US$ 858,64 per metrik ton, naik dibandingkan Juni ini yang sebesar US$ 835,71 per metrik ton. Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO periode Juli 2013 juga naik menjadi US$ 783 per ton. Sebelumnya, HPE CPO untuk Juni 2013 sebesar US$ 764 per ton. Nah, itu sebabnya, selain membuka pasar baru tujuan ekspor, geliat bisnis biodiesel di Tanah Air bisa menjadi pasar potensial produsen CPO lokal. Tahun ini, produksi biodiesel berbasis CPO berpotensi naik 20%. "Tahun lalu produksi domestik 669.000 kiloliter, tahun ini diperkirakan 800.000 kiloliter," kata Paulus Tjakrawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi).Tapi, prediksi kenaikan tersebut bergantung kepada beleid pemerintah. Jika pemerintah menaikkan campuran biodiesel untuk bahan bakar kendaraan dari 7,5% menjadi 10%, produksi biodiesel akan marak dan mencapai target. Selain itu, Immanuel Sutarto, Wakil Ketua Aprobi, berharap industri pertambangan dan pembangkit listrik mulai menggunakan biodiesel. "Sayang, PLN lebih memilih gas dan batubara," keluhnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ekspor minyak kelapa sawit melejit
JAKARTA. Meski harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) masih lesu, volume ekspor CPO dan turunannya terus berkibar. Data Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada Mei 2013, volume ekspor CPO meningkat sekitar 22,15% dibandingkan dengan Mei tahun lalu.Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, menjelaskan, ekspor CPO dan turunannya pada Mei 2013 menembus angka 1,82 juta ton. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, ekspor CPO dan turunannya 1,49 juta ton. "Kenaikan ekspor CPO ini karena peningkatan permintaan CPO di pasar dunia," kata Fadhil, kemarin (27/6).Selain lonjakan permintaan, kenaikan ekspor CPO dan turunannya ini terdorong minimnya persediaan minyak kedelai dunia. Maklum, produksi kedelai di sentra kedelai dunia seperti di Amerika Serikat (AS) dan Amerika Selatan terganggu cuaca. Di Argentina, misalnya, curah hujan tinggi sehingga menurunkan hasil panen kedelai.GAPKI mencatat, permintaan dari beberapa negara seperti India dan China meningkat. Mei lalu, India meminta 590.520 ton CPO, naik 8,17% dibandingkan 545.950 ton pada April 2013. China juga menaikkan pesanan sebesar 14,14% ketimbang permintaan April 2013. Lonjakan ekspor paling tajam dengan tujuan AS dan Bangladesh. sebagai contoh, permintaan dari AS melonjak 265,9% dari 9.700 ton di April menjadi 35.500 ton pada Mei 2013. Penurunan produksi kedelai, sebagai bahan baku biofuel, di negara ini menjadi pendorong permintaan CPO dari Indonesia. "Juli nanti, permintaan CPO makin tinggi karena permintaan meningkat," kata Fadhil. Menurut Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), selain membidik pasar tradisional ekspor CPO Indonesia, eksportir sawit negara ini harus membuka pasar baru tujuan ekspor untuk menaikkan penjualan. Salah satu pasar baru yang potensial adalah Afrika.Maklum, kebutuhan CPO di negara-negara Afrika cukup tinggi. "Sementara, total produksi CPO di Afrika baru sekitar 1,8 juta ton tandan buah segar (TBS)," kata Derom. Jika diolah, 1,8 juta ton TBS itu hanya menghasilkan sekitar 150.000 ton CPO.Namun, untuk masuk pasar Afrika tidak mudah. Sebab, bea masuk impor CPO di Afrika masih tinggi, yakni 30% sampai 35% . Makanya, ia meminta pemerintah Indonesia melobi pemerintah negara-negara Afrika supaya menurunkan bea masuk CPO.Lirik bisnis biodieselCuma, menggenjot ekspor belum tentu menguntungkan pada saat ini. Maklum, mulai Juli 2013, Kementerian Perdagangan (Kemdag) menaikkan bea keluar ekspor CPO, menjadi 10,5% dari harga. "Persentase ini naik 1,5% dibandingkan dengan bea keluar pada Juni," ujar Bachrul Chairi, Direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemdag. Besaran bea keluar ekspor CPO ini mengacu pada harga referensi CPO yang sebesar US$ 858,64 per metrik ton, naik dibandingkan Juni ini yang sebesar US$ 835,71 per metrik ton. Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO periode Juli 2013 juga naik menjadi US$ 783 per ton. Sebelumnya, HPE CPO untuk Juni 2013 sebesar US$ 764 per ton. Nah, itu sebabnya, selain membuka pasar baru tujuan ekspor, geliat bisnis biodiesel di Tanah Air bisa menjadi pasar potensial produsen CPO lokal. Tahun ini, produksi biodiesel berbasis CPO berpotensi naik 20%. "Tahun lalu produksi domestik 669.000 kiloliter, tahun ini diperkirakan 800.000 kiloliter," kata Paulus Tjakrawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi).Tapi, prediksi kenaikan tersebut bergantung kepada beleid pemerintah. Jika pemerintah menaikkan campuran biodiesel untuk bahan bakar kendaraan dari 7,5% menjadi 10%, produksi biodiesel akan marak dan mencapai target. Selain itu, Immanuel Sutarto, Wakil Ketua Aprobi, berharap industri pertambangan dan pembangkit listrik mulai menggunakan biodiesel. "Sayang, PLN lebih memilih gas dan batubara," keluhnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News