Ekspor salak ke China dipermudah



JAKARTA. Eksportir buah salak Indonesia bisa bernafas lega. Setelah ekspor salak ke China mengalami hambatan, kini ekspor bisa kembali lancar. Hal ini akan terwujud  setelah ditandatanganinya Protocol of Plant Quarantine Requirement  for the Export of Salacca Fruit from Indonesia to China di Jakarta minggu lalu.

Kesepakatan tersebut tercapai setelah Menteri Pertanian RI Suswono bertemu dengan Menteri Administrasi Umum Supervisi Kualitas, Inspeksi, dan Karantina Republik Rakyat China (RRC), Zhi Shuping yang berkunjung ke Jakarta.

Protokol ini menjadikan produk buah salak Indonesia dapat masuk ke China, tanpa hambatan administrasi. "Saya berharap ekspor buah salak Indonesia ke China dapat meningkat," kata Suswono pekan lalu.


Mulai awal tahun lalu, ekspor salak ke China memang banyak mengalami hambatan. Ada dugaan, hambatan ini muncul setelah Indonesia  melakukan pembatasan atas impor produk hortikultura, baik berupa penetapan kuota sejumlah produk, termasuk buah-buahan. Apalagi, pemerintah juga menerapkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta mengatur pintu masuk pelabuhan impor demi melindungi produk-produk lokal.

Yazid Taufika, Pelaksana Harian (Plh) Dirjen Produksi dan Pemasaran Hasil Pertanian Kemtan menjelaskan, China memang sempat menahan impor salak Indonesia. Alasannya, ditemukan organisme pengganggu tanaman serta kandungan logam berat yang tidak sesuai ketentuan China. di produk salak.  "Namanya juga perdagangan dunia, persaingan antar negara wajar," ujarnya. Namun, pemerintah tidak akan membiarkan ini. Salah satunya lewat protokol.   

Yazid yakin, protokol  ini akan membuat ekspor salak mengalami peningkatan. Tahun ini ekspor salak ditargetkan  mencapai  878.600 ton ke China.

Volume itu lebih tinggi dibanding 2011 yang sebesar 596.700 ton dan 2012 sebesar 764.000 ton. "Kalau lihat trennya, diharapkan pertumbuhan ekspor sebesar 15%," katanya. Apalagi temuan logam berat itu terbentuk secara proses alami dari tanah dan aman dikonsumsi.

Aturan direvisi

Perdagangan produk pertanian Indonesia dengan China cukup besar. Indonesia mengekspor manggis, pisang, nanas, anggur, kelengkeng dan salak. Sedangkan China banyak mengekspor produk bawang putih, kentang, tomat, bawang bombay, bawang daun, kubis, selada, wortel, cabe dan lobak dari China.

Lalu apakah ada udang dibalik batu atas pembukaan ekspor salak ke China? Suswono bilang dalam pertemuan dengan China, Negara Tirai Bambu itu mengajukan keberatan atas kebijakan impor hortikultura Indonesia. Yakni terkait ditutupnya pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta untuk produk buah impor China dan perlunya inspeksi produk pertanian yang akan diekspor ke Indonesia.

Suswono mengaku masih pikir-pikir atas keberatan itu. "China keberatan karena itu  memberatkan pengusaha mereka karena  ada tambahan biaya besar akibat kedua kebijakan itu," katanya.

Yang pasti, Kemtan sudah merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60 tahun 2012 tentangRIPH. Dalam aturan baru, pemerintah tidak menentukan kuota impor produk hortikultura namun mengatur waktu pemasukan. “Ketika produksi dalam negeri mencukupi kebutuhan, kita tidak melakukan impor," kata Yazid.

Kemtan juga memangkas jumlah pos tarif yang wajib menggunakan RIPH. Jika sebelumnya ada 59 pos tarif dari 20 komoditas, turun menjadi 39 pos tarif dari 15 komoditas, salah satunya adalah bawang putih.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa