KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Amerika Serikat (AS) mencatat defisit perdagangan terhadap Indonesia sebesar US$ 19,3 miliar. Imbasnya, AS memberlakukan tarif impor resiprokal terhadap sejumlah produk dari Indonesia, termasuk minyak sawit, dengan besaran hingga 32%. Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, menilai pengenaan tarif tersebut akan berdampak pada naiknya harga minyak sawit yang dibayar oleh pelaku usaha dan konsumen di AS.
- Negosiasi tarif dagang. Kabar baiknya, Presiden Trump pada hari ini telah mengumumkan pelonggaran tarif untuk Indonesia dari 32% menjadi 10%, serta pemberlakuan penghentian sementara tarif selama 90 hari bagi sebagian besar negara, kecuali China.
- Relaksasi hambatan ekspor. Termasuk pengurangan bea keluar (export duty) dan pelonggaran aturan non-tarif seperti kewajiban DMO/DPO, misalnya lewat penugasan khusus kepada BUMN. Saat ini, bea keluar CPO berada di level US$ 125 per ton dan bisa dipertimbangkan untuk diturunkan ke kisaran US$ 75–100 per ton.
- Penurunan PPN untuk Tandan Buah Segar (TBS) petani.
- Diversifikasi pasar. Fokus pada perluasan pasar ke negara-negara lain, terutama negara yang tengah melakukan retaliasi impor terhadap kedelai dari AS seperti Tiongkok.
- Deregulasi dan debirokratisasi investasi industri sawit. Khususnya di sektor hulu (relaksasi program peremajaan sawit rakyat/PSR) dan hilir, guna memperluas pangsa pasar domestik.
- Pengembangan energi berbasis sawit. Seperti peningkatan program biodiesel dari B40 ke B50, serta pengembangan bensin sawit (green fuel).