Ekspor zirkon masih terhambat metode pengukuran



JAKARTA. Pengusaha zirkon mengeluhkan belum dapatnya kembali kegiatan ekspor lantaran perbedaan pengukuran batasan minimum. Asosiasi Pertambangan Zirconium Indonesia (APZI) meminta pemerintah segera menyelesaikan persoalan ini karena mengakibatkan kegiatan tambang terhenti karena serapan domestik sangat mini.

Sihol Manullang, Sekretaris Jenderal APZI mengatakan, saat ini Bea Cukai menerapkan metoda baru dalam pengukuran batasan kadar minimum produk pasir zirkon, yakni dengan teknologi X-Ray Fluorescence (XRF). "Sebelumnya, dengan metode gravimetry, pengukuran tidak ada masalah, dan ekspor tetap bisa berjalan," kata dia, Rabu (17/12).

Asal tahu saja, ketika penerapan UU Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara serta dan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1/2014 pada awal Januria silam,  kegiatan ekspor pasir zirkonium berjalan normal. Dalam aturan tersebut, batasan kadar minimun komoditas tersebut yang yakni ZrO2 di atas 65,5%.


Sejak beberapa bulan belakangan, produk jenis tersebut dilarang untuk diekspor karena  dianggap tidak memenuhi kadar minimum. "Dengan metode XRF, kadar  bisa ZrO2 sebesar 64,5% dan Hafnium 1,5%. Karena batas minimum 65,5%, jadinya tidak lolos ekspor. Padahal, kedua jenis mineral tersebut tidak bisa dipisahkan," kata Sihol.

Oleh karena itu, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo segera turun tangan agar pertambangan zirkon tetap berjalan. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan pertambangan pasir zirkon di Indonesia dengan produksi mencapai 120.000 ton per tahun melibatkan masyarakat sekitar tambang sebagai mitranya.

Dede Ida Suhendra, Kepala Pusat Teknologi Mineral dan Batubara (Puslitbang Tekmira) Kementerian ESDM  mengatakan, pihaknya tengah melakukan koordinasi dengan Bea Cukai dan para surveyor dalam membuat  kajian dari hasil laboratorium terkait pengujian batasan minimun pasir zirkon.  "Sedang kami analisa laboratoriumnya, kesalahannya terjadi di mana apakah di metodenya atau bagaimana," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto