JAKARTA. Para eksportir minyak sawit mentah atawa crude palm oil (CPO) mengajukan permohonan agar ekspor CPO diperbolehkan tanpa letter of credit (L/C). Ketentuan wajib L/C ini diatur dalam Permendag No.04 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penggunaan Letter of Credit (L/C) untuk ekspor CPO. Eksportir CPO menilai pemberlakukan wajib L/C tidak efektif dan hanya menambah beban eksportir di tengah melemahnya pasar CPO global. Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan, pihaknya akan mengajukan penghapusan Permendag terkait kewajiban pemberlakukan L/C untuk ekspor CPO pada pekan depan. Diharapkan keputusan itu nantinya akan dikeluarkan pemerintah pada saat mengumumkan deregulasi jilid II. "Kami meminta supaya Permendag itu dibatalkan saja, karena tidak memberikan nilai tambah apa-apa," ujar Sahat kepada KONTAN, Senin (21/9).
Sahat bilang, kalau alasan pemerintah memberlakukan L/C untuk memantau aliran dana penjualan masuk ke Indonesia, maka bisa dipantau dari laporan Bank Indonesia (BI). Sebab, setiap kali kegiatan ekspor dilakukan, pemberitahuan ekspor barang (PEB)-nya tercatat di BI, sehingga tidak perlu lagi ada L/C. Di sisi lain, pemberlakuan wajib L/C membuat pengusaha harus mengeluarkan biaya ekstra. Antara lain biaya administrasi per L/C sebesar US$ 50. Kemudian biaya penarikan L/C dari bank juga kena lagi biaya pengambilan sebesar 0,125% dari nilai invoice. Belum lagi, pencairan dana tersebut butuh waktu selama 6 hari pasca dokumen dinyatakan lengkap. Sahat menilai peraturan ini sangat tidak kompetitif, sebab memperlambat laju pengusaha, dan kalah besaing dengan pengusaha CPO dari Malaysia yang tidak memberlakukan wajib L/C. Padahal menurut Sahat, yang membutuhkan L/C itu adalah pengusaha untuk memastikan pengiriman barangnya aman. Sehingga kalau tidak pakai L/C barang bisa hilang dan yang rugi pengusaha dan bukan pemerintah. Namun selama ini, para pengusaha sudah saling percaya sehingga lebih sering melakukan transfer tanpa harus pakai L/C karena dinilai memperlambat.