KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha rajungan mengeluhkan kewajiban memasukkan devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam sistem keuangan Indonesia. Ketua Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) Kuncoro Catur Nugroho mengatakan kewajiban tersebut bisa menekan arus kas pelaku usaha. Padahal, dana tersebut dibutuhkan sebagai modal kerja untuk membeli bahan baku. “Margin yang diperoleh (oleh pelaku usaha rajungan) hanya sekitar 5%-an, maka bila ditempatkan 30% selama 3 bulan maka akan berdampak kepada cash flow usaha,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (1/8). Seperti diketahui, kewajiban memasukkan DHE ke dalam sistem keuangan Indonesia berlaku pada Selasa (1/8). Aturan tersebut dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 Tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) yang diundangkan 12 Juli 2023 lalu.
Kewajiban ini dikenakan terhadap hasil barang ekspor dari 4 sektor, yaitu perikanan, pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Kewajiban Eksportir untuk memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia dilakukan melalui penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA.
Baca Juga: Ini Barang Ekspor yang Wajib Parkir DHE SDA di dalam Negeri Pasal 6 aturan ini menyebutkan, penempatan DHE sumber daya alam dalam Rekening Khusus DHE SDA diwajibkan terhadap eksportir yang memiliki DHE SDA dengan nilai wkspor pada PPE paling sedikit US$ 250.000 atau ekuivalennya. DHE yang wajib tetap ditempatkan dalam sistem keuangan Indonesia ditetapkan minimal 30% selama paling singkat 3 bulan. Menukil pasal 2 aturan ini, kewajiban memasukkan DHE memiliki sejumlah tujuan, yakni mendorong sumber pembiayaan pembangunan ekonomi, mendorong pembiayaan investasi dan modal kerja untuk percepatan hilirisasi sumber daya alam. Lalu, meningkatkan investasi dan kinerja ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan dan/atau pengolahan sumber daya alam, dan mendukung perwujudan stabilitas makroekonomi dan pasar keuangan domestik. Dengan ketentuan tersebut, kegiatan ekspor rajungan menjadi salah satu sub sektor yang dikenai kewajiban. “Produk rajungan ini diperoleh atau diproses dari usaha mikro kecil (UMK) sepanjang pantura, walaupun kecil-kecil yang kita kumpulkan namun nilainya bisa lebih dari US$ 250.000,” tutur Kuncoro. Sebelumnya, APRI telah secara formal sudah mengirimkan surat keberatan kepada Sekretaris Presiden dengan tembusan kepada Kementerian & Lembaga keberatan atas PP Nomor 36 Tahun 2023. Isinya memohon agar kode HS Rajungan dikecualikan dari kewajiban PP tersebut. Hanya, ikhtiar tersebut tidak membuahkan hasil. “Dalam Sosialisasi beberapa hari yang lalu oleh Kementerian Koordinator Ekonomi, Bank Indonesia dan Bea Cukai menjelaskan bahwa HS Rajungan tetap diberlakukan atas PP ini. Batasan yang terkena adalah US$ 250.000/ per PEB (pemberitahuan ekspor barang),” tutur Kuncoro. Harapan Kuncoro, ada dukungan berupa bantuan dari pihak perbankan kepada pelaku usaha untuk memohonkan pencairan devisa bernominasi dolar Amerika Serikat (AS) yang dialokasikan untuk pembelian bahan baku ke dalam rupiah kepada pihak Bank Indonesia (BI).
Menurut Kuncoro, ketersediaan modal amat penting bagi kelangsungan bisnis rajungan. Arus kas yang tipis, kata Kuncoro bisa membuat pembayaran tagihan ke pihak nelayan atau pemasok menjadi seret. Walhasil, nelayan bisa berhenti melaut, sementara pihak perusahaan pemasok bisa kekurangan modal untuk untuk membayar biaya operasional dan gaji karyawan. “Dampak serius lagi bahwa akan terjadi PHK yang sangat menyulitkan di semua supply chain,” kata Kuncoro.
Baca Juga: Berlaku Hari Ini, Ini Jenis Barang Ekspor Perkebunan yang Wajib Parkir DHE Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat