JAKARTA. Fluktuasi harga emas belakangan ini tak terduga. Bayangkan, selama sepekan penuh di minggu lalu, harga kontrak emas di bursa COMEX melompat US$ 68,9 menjadi US$ 1.735,40 per ons troi (28/1). Bila dibandingkan dari posisi terakhir harga kontrak emas tahun lalu di US$ 1.569,4, harga emas dalam sebulan menanjak sekitar 10%. Namun, kemarin, harga emas terkoreksi 0,67%, mengerem reli kencang selama empat hari berturut-turut. Harga emas bertahan di atas US$ 1.700, tepatnya di US$ 1.723,8 per ons troi. Kondisi ini membuat investor harus merenungkan kembali status komoditas ini sebagai aset safe haven. Kepala Analis Askap Futures Suluh Adil Wicaksono mengatakan, koreksi harga ini wajar karena investor melakukan aksi profit taking. Secara fundamental, harga emas tersengat penguatan dollar AS terhadap euro menjelang pertemuan pemimpin Uni Eropa di Brussel.Lantaran harga emas dipatok dalam dollar AS, penguatan dollar AS akan menggerus harga emas. Dan, kemarin, indeks dollar menguat 0,51% menjadi 79,33 dari hari sebelumnya.
Jika tidak ada kabar negatif yang mengejutkan dari Eropa, koreksi emas tak akan terlalu pekan ini. Suluh memprediksi, level bawah emas atau support di level US$ 1.715. Dengan lambannya penguatan indeks dollar, ia optimistis tren harga emas masih naik. "Pekan ini, semoga bisa tembus US$ 1.758," ujar dia. Ini sejalan dengan survei mingguan yang diadakan situs investasi emas www.kitco.com yang menyatakan 76% analis menyatakan pekan ini tren emas masih menguat. Beberapa faktor pendukung penguatan emas adalah ekspektasi pasar bahwa the Fed akan menambah stimulus dan mencetak uang (quantitaive easing 3). "Kalau terjadi dan bank sentral negara lain juga melancarkan stimulus, harga emas bisa melampaui rekor tahun lalu," kata Ibrahim, Analis Senior Harvest International Futures, kemarin. Ia melihat, sinyal Quantitative Easing 3 mulai terlihat. Dengan begitu, investor yang tahun lalu telanjur membeli emas di harga US$ 1.900 bisa balik modal. Cermati level koreksi