Emas dan Obligasi Bisa Jadi Pilihan Investasi untuk Kuartal IV, Simak Penjelasannya



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Aset saham dan obligasi layak dicermati sebagai instrumen investasi pilihan di kuartal IV-2024. Penurunan suku bunga acuan hingga transisi pemerintahan baru dapat menggairahkan pasar saham maupun surat utang.

Analis KISI Asset Management (KISI AM), Okky, mengatakan bahwa investor dapat memperbesar porsi investasi saham di akhir tahun seiring dipangkasnya suku bunga acuan. Hal itu karena turunnya level suku bunga dapat membuat tingkat diskonto bakal ikut bergerak turun dan mendorong valuasi saham.

Okky menyoroti, saham sektor perbankan bisa jadi pilihan utama dalam tren suku bunga menurun karena berpotensi meningkatkan pertumbuhan pinjaman (loan growth). Di sisi lain, lingkungan suku bunga rendah dapat membuat Cost of Fund (CoF) bank cenderung turun, sehingga margin bunga bersih (NIM) Bank cenderung stabil dan meningkat.


Saham sektor komoditas juga layak dikoleksi karena turunnya suku bunga dapat melemahkan indeks dolar (DXY). Dengan begitu, mata uang rupiah diharapkan menguat yang bisa bertranslasi ke meningkatnya harga-harga komoditas.

Di sisi lain, saham sektor komoditas diproyeksi terangkat langkah stimulus China yang dapat mendorong perekonomian dan permintaannya terhadap komoditas. Misalnya, komoditas batubara bisa naik karena China merupakan negara konsumen terbesar batubara mencapai 50% secara global.

Baca Juga: Investor Ritel Jadi Pembeli Obligasi Pemerintah yang Terbesar, Capai Rp 46,6 Triliun

Seperti diketahui, Bank Sentral China (PBoC) pekan lalu (24/9) mengumumkan akan menggelontorkan stimulus jumbo untuk menggenjot ekonomi agar mencapai target pertumbuhan tahunan 5%.

Langkah China diantaranya akan mencabut pembatasan pembelian rumah utama dalam beberapa minggu mendatang.  China juga akan merilis obligasi khusus sebagai bagian stimulus fiskal senilai 2 triliun yuan (US$284,43 miliar) untuk mensubsidi program penggantian barang konsumsi dan peralatan bisnis, hingga mengatasi masalah utang.

"Investor layak memperbesar porsi saham dengan turunnya suku bunga. Berapapun nilai di akhir tahun nanti, kami percaya harga saham akan mencerminkan fundamental perusahaan," ujar Okky kepada Kontan.co.id, Senin (30/9).

Okky menuturkan, peluang berinvestasi di surat utang juga masih menarik dikarenakan saat ini selisih (spread) yield tinggi antara obligasi 10 tahun Indonesia dibandingkan surat utang US Treasury Tenor 10 tahun. Terlebih lagi, suku bunga masih berpotensi dipangkas dengan Bank Indonesia (BI) diprediksi akan memangkas suku bunga hingga 2 kali di akhir tahun 2024 dan 3 kali untuk tahun 2025.

Adapun Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuannya 50 bps menjadi 4.75% - 5% pada 18 September 2024. Sementara, Bank Indonesia memangkas suku bunga sebesar 25 bps menjadi 6% pada pertemuan tanggal 17 – 18 September 2024.

Investor asing atau non residen terpantau beli Surat Berharga Negara (SBN) usai suku bunga dipangkas. Berdasarkan data DJPPR Kemenkeu, per 18 September 2024, kepemilikan non residen sekitar Rp 853,88 triliun menjadi sekitar Rp 871,10 triliun per 27 September 2024.

Emas jadi pelengkap

Selain itu, Okky menambahkan, emas bisa menjadi pelengkap investasi karena harga emas bergerak seiring tingkat ketidakpastian di pasar global. Dan dengan masih adanya ketidakpastian ekonomi seiring konflik geopolitik masih berlangsung di Timur tengah, maka emas dipandang sebagai pilihan investasi menarik.

Mengutip situs Logam Mulia, emas Antam kembali mencetak rekor harga tertinggi sepanjang sejarah (all time high) mencapai Rp 1,46 juta pada hari ini, Senin (30/9). Kenaikan harga emas antam ini mengekor pergerakan harga emas dunia yang saat ini mencapai US$2.641 per ons troi, per 30 September 2024.09.30

Namun demikian, Okky berujar, pilihan aset investasi harus disesuaikan dengan profil risiko masing-masing investor. Setiap investor perlu mengenal profil risiko agar bisa memilih instrumen investasi yang pas.

Okky menyebutkan, investor kategori investor agresif adalah tipe yang lebih mencari instrumen keuangan yang beresiko, namun dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Sehingga, aset saham merupakan pilhan investasi sesuai untuk investor profil agresif.

Investor kategori moderat lebih mencari keseimbangan antara risiko (risk) dan tingkat imbal hasil (return). Sedangkan, investor konservatif secara profil resiko lebih mencari investasi yang stabil agar nilai investasi tidak tergerus inflasi.

Baca Juga: Harga Emas Bertahan di Bawah Rekor Tertinggi, Mencatat Kuartal Terbaik Sejak 2016

Perencana Keuangan dari Finansia Consulting, Eko Endarto mencermati, terdapat beberapa faktor internal yang mungkin bisa dijadikan alasan ekonomi dan investasi kedepannya akan tumbuh.

"Pemerintahan dan presiden yang baru, bunga yang turun dan kebijakan pelonggaran ekonomi bisa buat investasi jadi tumbuh," jelas Eko saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (30/9).

Dengan berbagai faktor ekonomi tersebut, Eko menilai bahwa aset saham dan obligasi bakal paling diuntungkan. Selain itu, emas juga dipandang layak masuk portofolio karena terlepas dari tekanan suku bunga tinggi yang selama ini menguatkan dolar AS dan mengikis harga logam mulia.

Eko juga menyarankan portofolio investasi harus disesuaikan dengan profil risiko investor. Di samping itu, investor tetap perlu aktif mengatur portofolio sejalan dengan perkembangan teranyar pasar.

Adapun bagi investor konservatif bisa mengalokasikan sekitar 30% ke deposito, 40% ke obligasi dan 30% ke emas atau saham. Investor Moderat bisa masukkan dana 20% ke deposito, 40% obligasi atau emas dan 30% saham atau properti.

Sedangkan, bagi invetor agresif, bisa mengalokasikan dana 20% ke deposito, 30% ke obligasi dan emas dan sisanya bisa ke saham, kripto atau properti. Aset kripto bisa menjadi opsi investasi menarik dengan tawaran risk dan return yang tinggi bagi investor tipe agresif.

Selanjutnya: 15 BPR Bangkrut, LPS Siapkan Pembayaran Penjaminan Rp 889,37 Miliar

Menarik Dibaca: Sabun Pencuci Piring Ekonomi Luncurkan Varian Baru, Padukan Nanas dan Lemon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih