KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah ancaman resesi yang terjadi di beberapa negara, emas diproyeksikan menjadi pilihan alternatif investasi yang menarik. Tapi di satu sisi, saat ini bank sentral global masih mengambil posisi agresif dalam kebijakan moneternya yang justru menjadi katalis negatif untuk emas. Namun, secara jangka panjang, emas pada akhirnya dinilai bisa jadi opsi yang menarik bagi para investor di tengah kondisi saat ini. Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengungkapkan, emas sering dipandang sebagai
safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi maupun politik. Alhasil, berkenaan dengan peluang terjadinya resesi, maka permintaan emas kemungkinan akan meningkat berkat perannya sebagai
safe haven tersebut.
Apalagi, potensi resesi tidak hanya terjadi di AS, beberapa negara maju lainnya, seperti Inggris juga kini tengah menghadapi resesi. Ditambah dengan konflik Rusia-Ukraina yang tak kunjung mereda, masih adanya potensi perang dagang AS-China, ketegangan AS-Iran, masih mendukung emas sebagai
safe haven.
Baca Juga: Menerawang Kemilau Emas di Tengah Ancaman Resesi Amerika Serikat “Selain itu, dengan tingginya tingkat inflasi di beberapa negara maju, seperti AS, Inggris, dan zona euro akan semakin meningkatkan daya tarik emas sebagai sarana lindung terhadap inflasi,” kata Alwi ketika dihubungi Kontan.co.id, Rabu (22/6). Di sisi lain, Alwi menyebut tingginya tingkat inflasi tersebut telah memaksa bank sentral dunia untuk mengetatkan kebijakan moneternya, dengan menaikkan suku bunga. Misalnya The Fed, yang menaikkan suku bunganya secara agresif sebesar 75 bps, kemudian SNB menaikkan suku bunga 50 bps dan BoE yang menaikkan suku bunga sebesar 25 bps. Bahkan, RBA, yang tadinya nyaman dengan suku bunga rendahnya, juga telah menaikkan suku bunganya menjadi 0,8% dan masih membuka ruang kenaikan di rapat selanjutnya. Dengan prospek suku bunga yang tinggi, emas sebagai aset yang tidak memiliki bunga dan imbal hasil ini berpotensi untuk ditinggalkan. Dia juga menilai, kenaikan suku bunga akan diiringi dengan potensi penguatan dolar AS hingga akhir tahun. Alhasil harga emas akan menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang non dolar. Belum lagi, dengan koreksi yang cukup dalam terjadi di pasar saham AS tentunya membuat valuasi saham AS menjadi lebih murah. Pada akhirnya ini bisa mendorong
risk appetite para investor untuk memburu aset berisiko. “Hal ini tentunya akan menyurutkan daya tarik emas sebagai investasi alternatif. Sehingga di tengah tarik menarik sentimen tersebut, pergerakan emas kemungkinan akan bergerak terbatas,” imbuhnya. Menurutnya, hal itulah yang pada akhirnya membuat harga logam mulia keluaran PT Aneka Tambang (Antam) kesulitan menembus level Rp 1 juta.
Baca Juga: Harga Emas Melemah di Tengah Penguatan Dolar AS Pada Rabu (24/6) harga emas Antam berada di Rp 993.000 per gram. Sebelumnya, harga emas Antam sempat bertahan di level Rp 999.000 selama lima hari berturut-turut. Berdasarkan proyeksi Alwi, harga emas Antam pada akhir tahun ini berada di kisaran Rp 925.00-Rp 1.035.000 per gram. Sementara untuk harga
buyback-nya berada di kisaran Rp 825.000 - Rp 910.000 per gram. “Bagi para investor, untuk long term bisa
hold emas logam mulianya. Lalu, untuk jangka pendek, jika ingin jual bisa di harga
buyback Rp 910.000, sementara jika ingin beli, sebaiknya tunggu di harga Rp 925.000,” tutup Alwi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi