JAKARTA. Tren investasi emas, baik fisik maupun derivatif, kian mencorong menyusul krisis finansial yang beberapa kali menghantam perekonomian global. Dalam kondisi itu, emas dianggap sebagai sarana lindung nilai yang efektif, sekaligus memberikan peluang memperoleh laba, baik dari selisih harga beli-jual emas fisik maupun kontrak derivatif.Para penjaja skema money game dan ponzi, dalam tiga tahun sampai empat tahun terakhir, agaknya menangkap peluang ini. Sebelumnya, banyak pelaku money game berkedok tawaran investasi memakai “aset dasar” produk agribisnis. Contohnya, Koperasi Langit Biru yang memakai komoditas daging sapi untuk kedok investasi. Lalu, ada pula yang membonceng usaha multilevel marketing. Ingat, tahun lalu, KONTAN mengupas tawaran investasi Gradasi Management yang mencomot nama MLM Furchange.Karena dibangun di atas fondasi dana nasabah dan bukan bisnis yang nyata, skema ini pun dipastikan akan menemui titik jenuh hingga akhirnya macet sama sekali. Dus, seperti tawaran investasi berkedok daging sapi dan produk kesehatan MLM, fondasi “investasi” emas di tangan pelaku yang diduga menerapkan skema money game ini pun mulai rontok. Dua perusahaan yang menawarkan high yield investment program (HYIP) berbalut emas dan sudah memasuki tahap scam adalah Raihan Jewellery dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).Raihan berhenti membayar dana ribuan nasabahnya di Langsa, Banda Aceh, Medan, Jakarta, dan Surabaya sejak 3 Januari 2013. Diperkirakan, dana nasabah yang masih tersangkut di perusahaan milik Muhammad Azhari ini mencapai angka Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar.Berkat laporan sembilan nasabahnya ke Polda Jatim, kasus dugaan penipuan Raihan Jewellery kini sudah masuk ke ranah hukum. Kamis (7/3), Polda Jatim memeriksa Azhari, dua pemimpin cabang Surabaya, yakni Theresia Rosiana dan Maxsie Sarjuanda. Sumber KONTAN membisikkan, Jumat (8/4) akan dilakukan gelar perkara untuk menentukan status mereka.Salah satu nasabah yang terakhir melaporkan kasus dugaan penipuan ini adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional (DPD PAN) Mojokerto, Jawa Timur, Diaz Roychan. Laporan tersebut ia sampaikan pada Selasa (5/3).Mantan jurubicara Lapindo Brantas ini membiakkan duit di Raihan lewat Maxsie, pengelola Raihan Jewellery Surabaya. Maxsie adalah keponakan Azhari. Diaz masuk awal Desember 2013 dengan skema fisik dan membeli satu kilogram emas seharga Rp 705 juta. “Harganya Rp 705.000 per gram,” ujar lelaki yang pernah mencalonkan diri sebagai calon Walikota Mojokerto tersebut.Diaz memilih kontrak selama enam bulan dengan iming-iming cashback 2,5% per bulan. Nahas baginya, baru sekali mendapatkan cashback, program investasi Raihan mandek sejak 3 Januari 2013 lalu.Sementara itu, GTIS tak bisa membayar atthoya, istilah untuk hadiah atau bonus, kepada nasabah dan agen sejak 25 Februari 2013. Direktur Utama GTIS Michael Ong disebut membawa kabur emas dan uang investor ke luar negeri. Ong kabur bersama Direktur GTIS Desmond Yap dan dua kerabatnya yang bekerja di bagian keuangan GTIS.Berapa jumlah dana nasabah yang ditilep Ong masih belum jelas. Dewan Pengawas Syariah GTIS Ma’ruf Amin menyebut, informasi yang ia terima, dana yang dibawa lari Ong cuma Rp 10 miliar. Namun, rumor yang menyebar via broadcast BBM sebelumnya menyebutkan angka Rp 10 triliun.Kabur lewat laut?Azidin, penasihat GTIS yang belakangan diangkat menjadi direktur utama, sempat menyangkal Ong membawa lari dana nasabah. Entah mana yang benar. “Yang jelas, dana yang tersisa di rekening BCA cuma Rp 800 juta,” kata seorang mantan agen GTIS, sebut saja Devi.Selain uang tunai, Devi menyebut, Ong, Desmond, dan dua kerabatnya juga membawa kabur emas seberat 40 kg. Ceritanya, Sabtu (23/2), seluruh pegawai GTIS dipulangkan, termasuk prajurit marinir yang selama ini menjaga kantor GTIS. Kamera CCTV menangkap gambar Desmond sedang membawa emas tersebut. Sayang, Azidin tidak merespon permintaan konfirmasi KONTAN mengenai aksi keempat orang tersebut.Devi menduga, emas tersebut tidak dibawa lari lewat jalur udara. Beberapa waktu sebelum kejadian, Desmond kerap pergi ke Cirebon, Jawa Barat. Desmond menyebut, kepergiannya untuk mengembangkan bisnis di sana. Nyatanya, hingga kini, GTIS tak memiliki cabang di Kota Udang tersebut. Dus, perempuan ini menduga, emas itu dilarikan lewat jalur laut. “Kalau bawa emas sebanyak itu pakai pesawat, pasti ketahuan di bandara,” tandas Devi.Meski nasabah jelas-jelas sudah tidak menerima imbal hasil yang dijanjikan, penyelesaian kasus ini nyatanya berjalan lambat. Boleh jadi, ini lantaran dua nama institusi ternama ikut terbawa-bawa. Yang pertama, kasus ini juga melibatkan petinggi Partai Demokrat. Marzuki Alie, Ketua DPR, seperti disebut di depan adalah penasihat GTIS. Sementara, Azidin pernah menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat sebelum dipecat gara-gara terlibat kasus dugaan suap permukiman haji, 2006 silam.Selain dua orang ini, KONTAN juga menemukan satu lagi kader Partai Demokrat berinisial APD yang terlibat aktif di GTIS sebagai direktur program, sebelum pergantian direksi pada 4 Maret 2013. Devi membenarkan, APD memang pernah menjabat Direktur Program GTIS. Ia mengaku tak ingat persis sejak kapan. Yang pasti, pada 2012, yang bersangkutan sudah menduduki posisi itu.Nah, lelaki ini pernah menjadi calon anggota DPRD DKI untuk periode 2009–2014 untuk daerah pemilihan Jakarta Timur, namun tak terpilih. Saat ini, ia juga aktif di kepengurusan DPD Demokrat DKI Jakarta. Sayang, hingga berita ini diturunkan, KONTAN belum berhasil menghubungi APD meski sudah mencoba meminta bantuan Ketua DPD Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli.Institusi lain yang terseret kasus ini adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN–MUI) yang memberikan label syariah kepada GTIS. DSN sendiri mengakui, sertifikat syariah kepada GTIS diberikan tanpa ada kewajiban melengkapi lebih dulu izin usahanya. Yang penting GTIS berkomitmen mengurus perizinannya segera setelah mendapatkan sertifikat halal.Kenyataanya, sejak pemberian label syariah pada 13 Agustus 2011 hingga Ong dan kawan-kawan kabur, GTIS tak mengurus izin tersebut. “Kemarin, yang penting izin nanti ada,” kata Ketua Badan Pelaksana Harian DSN MUI Ma‘ruf Amin di kantor DSN MUI, Jalan Dempo, Jakarta Rabu, (6/3).Celakanya, pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di GTIS tak berjalan maksimal. Mestinya, setelah 6 bulan pemberian sertifikat tersebut, DPS mengevaluasi GTIS, termasuk perizinannya. Belakangan, Ma‘ruf yang juga anggota DPS di GTIS mengaku kecolongan karena ternyata GTIS tak memenuhi komitmen awal.Kemudahan GTIS memperoleh stempel syariah sebetulnya mengherankan. Direktur Legal Bappebti Alfons Samosir berkisah soal sulitnya bekerjasama dengan DSN MUI berkaitan dengan pelaksanaan kontrak derivatif syariah di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ). “Sulit bekerjasama menerapkan syariah karena pengawas harus dari MUI yang belum tentu mengerti derivatif,” keluh anggota Satuan Tugas Waspada Investasi ini.Nah, lo, kok GTIS malah mulus mendapat sertifikat?***Sumber : KONTAN MINGGUAN 24 - XVII, 2013 EmasCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Emas lepas, uang amblas
JAKARTA. Tren investasi emas, baik fisik maupun derivatif, kian mencorong menyusul krisis finansial yang beberapa kali menghantam perekonomian global. Dalam kondisi itu, emas dianggap sebagai sarana lindung nilai yang efektif, sekaligus memberikan peluang memperoleh laba, baik dari selisih harga beli-jual emas fisik maupun kontrak derivatif.Para penjaja skema money game dan ponzi, dalam tiga tahun sampai empat tahun terakhir, agaknya menangkap peluang ini. Sebelumnya, banyak pelaku money game berkedok tawaran investasi memakai “aset dasar” produk agribisnis. Contohnya, Koperasi Langit Biru yang memakai komoditas daging sapi untuk kedok investasi. Lalu, ada pula yang membonceng usaha multilevel marketing. Ingat, tahun lalu, KONTAN mengupas tawaran investasi Gradasi Management yang mencomot nama MLM Furchange.Karena dibangun di atas fondasi dana nasabah dan bukan bisnis yang nyata, skema ini pun dipastikan akan menemui titik jenuh hingga akhirnya macet sama sekali. Dus, seperti tawaran investasi berkedok daging sapi dan produk kesehatan MLM, fondasi “investasi” emas di tangan pelaku yang diduga menerapkan skema money game ini pun mulai rontok. Dua perusahaan yang menawarkan high yield investment program (HYIP) berbalut emas dan sudah memasuki tahap scam adalah Raihan Jewellery dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).Raihan berhenti membayar dana ribuan nasabahnya di Langsa, Banda Aceh, Medan, Jakarta, dan Surabaya sejak 3 Januari 2013. Diperkirakan, dana nasabah yang masih tersangkut di perusahaan milik Muhammad Azhari ini mencapai angka Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar.Berkat laporan sembilan nasabahnya ke Polda Jatim, kasus dugaan penipuan Raihan Jewellery kini sudah masuk ke ranah hukum. Kamis (7/3), Polda Jatim memeriksa Azhari, dua pemimpin cabang Surabaya, yakni Theresia Rosiana dan Maxsie Sarjuanda. Sumber KONTAN membisikkan, Jumat (8/4) akan dilakukan gelar perkara untuk menentukan status mereka.Salah satu nasabah yang terakhir melaporkan kasus dugaan penipuan ini adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional (DPD PAN) Mojokerto, Jawa Timur, Diaz Roychan. Laporan tersebut ia sampaikan pada Selasa (5/3).Mantan jurubicara Lapindo Brantas ini membiakkan duit di Raihan lewat Maxsie, pengelola Raihan Jewellery Surabaya. Maxsie adalah keponakan Azhari. Diaz masuk awal Desember 2013 dengan skema fisik dan membeli satu kilogram emas seharga Rp 705 juta. “Harganya Rp 705.000 per gram,” ujar lelaki yang pernah mencalonkan diri sebagai calon Walikota Mojokerto tersebut.Diaz memilih kontrak selama enam bulan dengan iming-iming cashback 2,5% per bulan. Nahas baginya, baru sekali mendapatkan cashback, program investasi Raihan mandek sejak 3 Januari 2013 lalu.Sementara itu, GTIS tak bisa membayar atthoya, istilah untuk hadiah atau bonus, kepada nasabah dan agen sejak 25 Februari 2013. Direktur Utama GTIS Michael Ong disebut membawa kabur emas dan uang investor ke luar negeri. Ong kabur bersama Direktur GTIS Desmond Yap dan dua kerabatnya yang bekerja di bagian keuangan GTIS.Berapa jumlah dana nasabah yang ditilep Ong masih belum jelas. Dewan Pengawas Syariah GTIS Ma’ruf Amin menyebut, informasi yang ia terima, dana yang dibawa lari Ong cuma Rp 10 miliar. Namun, rumor yang menyebar via broadcast BBM sebelumnya menyebutkan angka Rp 10 triliun.Kabur lewat laut?Azidin, penasihat GTIS yang belakangan diangkat menjadi direktur utama, sempat menyangkal Ong membawa lari dana nasabah. Entah mana yang benar. “Yang jelas, dana yang tersisa di rekening BCA cuma Rp 800 juta,” kata seorang mantan agen GTIS, sebut saja Devi.Selain uang tunai, Devi menyebut, Ong, Desmond, dan dua kerabatnya juga membawa kabur emas seberat 40 kg. Ceritanya, Sabtu (23/2), seluruh pegawai GTIS dipulangkan, termasuk prajurit marinir yang selama ini menjaga kantor GTIS. Kamera CCTV menangkap gambar Desmond sedang membawa emas tersebut. Sayang, Azidin tidak merespon permintaan konfirmasi KONTAN mengenai aksi keempat orang tersebut.Devi menduga, emas tersebut tidak dibawa lari lewat jalur udara. Beberapa waktu sebelum kejadian, Desmond kerap pergi ke Cirebon, Jawa Barat. Desmond menyebut, kepergiannya untuk mengembangkan bisnis di sana. Nyatanya, hingga kini, GTIS tak memiliki cabang di Kota Udang tersebut. Dus, perempuan ini menduga, emas itu dilarikan lewat jalur laut. “Kalau bawa emas sebanyak itu pakai pesawat, pasti ketahuan di bandara,” tandas Devi.Meski nasabah jelas-jelas sudah tidak menerima imbal hasil yang dijanjikan, penyelesaian kasus ini nyatanya berjalan lambat. Boleh jadi, ini lantaran dua nama institusi ternama ikut terbawa-bawa. Yang pertama, kasus ini juga melibatkan petinggi Partai Demokrat. Marzuki Alie, Ketua DPR, seperti disebut di depan adalah penasihat GTIS. Sementara, Azidin pernah menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat sebelum dipecat gara-gara terlibat kasus dugaan suap permukiman haji, 2006 silam.Selain dua orang ini, KONTAN juga menemukan satu lagi kader Partai Demokrat berinisial APD yang terlibat aktif di GTIS sebagai direktur program, sebelum pergantian direksi pada 4 Maret 2013. Devi membenarkan, APD memang pernah menjabat Direktur Program GTIS. Ia mengaku tak ingat persis sejak kapan. Yang pasti, pada 2012, yang bersangkutan sudah menduduki posisi itu.Nah, lelaki ini pernah menjadi calon anggota DPRD DKI untuk periode 2009–2014 untuk daerah pemilihan Jakarta Timur, namun tak terpilih. Saat ini, ia juga aktif di kepengurusan DPD Demokrat DKI Jakarta. Sayang, hingga berita ini diturunkan, KONTAN belum berhasil menghubungi APD meski sudah mencoba meminta bantuan Ketua DPD Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli.Institusi lain yang terseret kasus ini adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN–MUI) yang memberikan label syariah kepada GTIS. DSN sendiri mengakui, sertifikat syariah kepada GTIS diberikan tanpa ada kewajiban melengkapi lebih dulu izin usahanya. Yang penting GTIS berkomitmen mengurus perizinannya segera setelah mendapatkan sertifikat halal.Kenyataanya, sejak pemberian label syariah pada 13 Agustus 2011 hingga Ong dan kawan-kawan kabur, GTIS tak mengurus izin tersebut. “Kemarin, yang penting izin nanti ada,” kata Ketua Badan Pelaksana Harian DSN MUI Ma‘ruf Amin di kantor DSN MUI, Jalan Dempo, Jakarta Rabu, (6/3).Celakanya, pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di GTIS tak berjalan maksimal. Mestinya, setelah 6 bulan pemberian sertifikat tersebut, DPS mengevaluasi GTIS, termasuk perizinannya. Belakangan, Ma‘ruf yang juga anggota DPS di GTIS mengaku kecolongan karena ternyata GTIS tak memenuhi komitmen awal.Kemudahan GTIS memperoleh stempel syariah sebetulnya mengherankan. Direktur Legal Bappebti Alfons Samosir berkisah soal sulitnya bekerjasama dengan DSN MUI berkaitan dengan pelaksanaan kontrak derivatif syariah di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ). “Sulit bekerjasama menerapkan syariah karena pengawas harus dari MUI yang belum tentu mengerti derivatif,” keluh anggota Satuan Tugas Waspada Investasi ini.Nah, lo, kok GTIS malah mulus mendapat sertifikat?***Sumber : KONTAN MINGGUAN 24 - XVII, 2013 EmasCek Berita dan Artikel yang lain di Google News