JAKARTA. Perlambatan ekonomi berdampak pada nilai penghimpunan dana di pasar modal dan pasar obligasi. Mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga 25 Mei 2015, total nilai emisi penerbitan saham baru atau rights issue baru mencapai Rp 4,32 triliun. Jumlah tersebut menyusut hingga 57% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 10,08 triliun. Sedangkan penerbitan warrant tercatat Rp 240 miliar, juga lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp 270 miliar. Jika ditotal dengan nilai emisi initial public offering (IPO) yang sebesar Rp 4,49 triliun, total penjaringan dana dari pasar saham sebesar Rp 9 triliun. Jumlah itu menurun 34,3% dibandingkan penjaringan dana di pasar saham pada tahun lalu yang mencapai Rp 13,7 triliun.
Sepanjang tahun ini, nilai emisi dari obligasi terlihat lebih besar ketimbang rights issue. Dari pasar obligasi, korporasi sudah menerbitkan Rp 5,07 triliun. Jumlah tersebut menciut dibandingkan perolehan emisi obligasi pada periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 8,37 triliun. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sektor emiten yang paling banyak menerbitkan saham baru melalui skema rights issue adalah emiten sektor keuangan. Sektor ini juga mendominasi penerbitan obligasi setelah emiten sektor properti. "Peminat pasar obligasi lebih banyak dibandingkan pasar saham, karena ada volatilitas tinggi di saham," ujar Hans Kwee, Vice-President Investment PT Quant Kapital Investama kepada KONTAN, kemarin (26/5). Menurut dia, penerbitan saham baru saat ini banyak mengandung risiko sehingga menjadi opsi terakhir untuk menjaring pendanaan. Koreksi di pasar modal juga menyebabkan beberapa perusahaan besar yang melakukan penawaran perdana saham mendapatkan nilai emisi di bawah target. Harga saham IPO pun banyak yang terdiskon sehingga tidak menguntungkan emiten. Posisi pemodal asing Hans juga mengemukakan, perlambatan ekonomi paling banyak memberikan dampak pada pasar saham. Investor asing banyak yang mengambil posisi wait and see. "Apalagi rights issue harus mencari standby buyer yang saat ini juga tidak mudah dicari," imbuh dia. Di sisi lain, likuiditas perbankan yang ketat menyebabkan pasar obligasi menjadi alternatif untuk mencari pendanaan. Meski dana asing yang keluar dari pasar obligasi cukup besar, emiten jasa keuangan dan pembiayaan tetap banyak yang memilih obligasi sebagai pendanaan. Alhasil, kepemilikan perbankan di obligasi korporasi pun meningkat.
Di sisi lain, pembiayaan dari obligasi yang bersifat jangka panjang lebih menarik bagi emiten properti yang merencanakan ekspansi berkelanjutan. Hans bilang, dalam jangka panjang, prospek pasar obligasi masih menarik. Proyeksi tersebut didorong oleh tren penurunan suku bunga. Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, mengatakan, minimnya nilai perolehan emisi IPO juga menjadi indikator lesunya pasar modal domestik. Padahal, menurut dia, selama IHSG masih berada di atas 5.000, nilai valuasi IHSG masih cukup menarik. "Emiten masih bisa mendapatkan valuasi tinggi, meski ada koreksi di IHSG," ujar Satrio. Melihat kondisi ini, kemungkinan, penjaringan dana di pasar modal akan lebih ramai pada Semester kedua nanti, apabila pasar saham mengalami tren bullish. "Saat ini masih ada pengetatan likuiditas yang membuat sentimen negatif baik di pasar obligasi maupun pasar saham," kata Satrio. Harapannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa membaik sehingga berdampak positif bagi pasar modal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto