Emisi penerbitan obligasi korporasi diprediksi turun jadi Rp 152 triliun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan suku bunga membuat penerbitan emisi obligasi korporasi di akhir tahun hingga 2019 diprediksi menurun.

PT Pemeringkat efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan di akhir tahun jumlah penerbitan obligasi korporasi yang juga terdiri dari surat utang jangka menengah alias medium term notes (MTN), sukuk, dan sekuritisasi hanya sebesar Rp 152 triliun.

Sementara, di 2019 Pefindo kembali menurunkan target penerbitan obligasi korporasi menjadi Rp 148 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari penerbitan obligasi korporasi di tahun lalu yang mencapai Rp 185 triliun.


I Made Adi Saputra Analis Fixed Income MNC Sekuritas mengatakan penerbitan obligasi korporasi berpotensi turun karena emiten maupun perusahaan cenderung mengundurkan rencana penerbitan obligasi mereka.

Alasannya, tak lain karena suku bunga cenderung naik dan membuat emiten jadi menanggung cost of fund yang lebih tinggi karena yield yang ikut naik.

Faktor yang membuat emiten cenderung menahan tawaran obligasi mereka adalah minat investor. Dalam beberapa penerbitan obligasi koporasi, Made mengamati target penerbitan dari emiten tak sejalan dengan penyerapannya karena permintaan investor akan obligasi koporasi menurun.

Maklum, minat investor obligasi korporasi turun seiring dengan yield seri acuan yang terus bergerak dalam tren naik. Sehingga, investor jadi lebih tertarik berinvestasi di Surat Berharga Negara (SBN). Apalagi, SBN memiliki risiko yang lebih rendah dan memiliki likuiditas yang lebih tinggi dibanding obligasi korporasi.

"Tantangannya dari sisi penerbit ada kenaikan cost of fund, sementara dari sisi investor untuk tempatkan dana di surat utang korporasi harus bersaing dengan SBN," kata Made, Rabu (16/10).

Beragam tantangan tersebut, membuat perusahaan jadi mencari alternatif pendanaan selain dari obligasi. Alternatif pendanaan tersebut bisa berlaih ke pembiayaan perbankan.

Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan bila selisih imbal hasil yang harus dibayar obligasi koporasi dengan bunga bank menyempit maka akan lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk mencari pendanaan ke bank.

"Kalau biaya atas pinajaman melelui obligasi dan bank kurang lebih sama, kenapa perusahaan harus terbitkan obligasi yang menuntut mereka buka data ke publik," kata Anil.

Menurut Anil selama imbal hasil obligasi korporasi terpapar kenaikan yield maka korporasi tidak memiliki keuntungan untuk menerbitkan banyak surat utang.

Bahkan, Anil mengatakan potensi rugi bisa terjadi karena naiknya cost of fund ditambah tekanan dari publik. Namun, tidak menutup kemungkinan jika selisih imbal hasil obligasi korporasi kembali melebar dengan bunga bank, investor bisa berbondong-bondong cari pendanaan dari obligasi.

Kondisi pasar surat utang yang sangat menantang ini membuat penerbitan obligasi koporasi ke depan lebih banyak dilakukan emiten untuk kebutuhan refinancing dan akan sedikit jumlah emiten yang mengeluarkan obligasi baru untuk tujuan ekspansi.

Senada, Vonny Widjaja Managing Director Pefindo mengatakan, penerbitan obligasi korporasi ke depan akan menurun karena emiten akan banyak mempertimbangkan mengeluarkan surat utang korporasi di tahun depan seiring adanya pemilihan presiden 2019.

Di tengah proyeksi emisi penerbitan obligasi korporasi yang turun, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan penyaluran dana perbankan hingga periode Juli 2017 hanya naik 10% secara year on year (yoy). Sedangkan, fasilitas kredit kepada nasabah yang belum ditarik masih catatkan peningkatan 6,4% yoy.

Nampaknya, emiten memang cenderung menahan ekspansi mereka. Made mengatakan dari sisi kondisi makro ekonomi masih tertekan pelemahan rupiah.

Hingga akhir tahun 2019 Made memperkirakan tingkat imbal hasil SUN secara moderat akan berada di level 7,75% untuk tenor 5 tahun, 8,5% untuk tenor 10 tahun, 8,80% untuk tenor 10 tahun dan 8,95% untuk tenor 20 tahun.

Sementara, spread yield obligasi korporasi rating AAA premium dengan yield acuan berkiasar 75 hingga 100 basis poin di atas benchmark.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Narita Indrastiti