JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menerbitkan aturan baru mengenai kewajiban porsi saham publik. Dalam aturan yang tertuang dalam Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00001/BEI/01-2014 mewajibkan para emiten untuk memiliki saham publik (free float) minimal 7,5% dari total saham disetor. Aturan yang telah terbit pada 20 Januari 2014 tersebut akan resmi berlaku mulai 30 Januari 2014. Sementara bagi emiten yang ternyata belum memiliki saham publik di atas 7,5% maka wajib memenuhi kewajiban dalam waktu 24 bulan sejak tanggal berlaku aturan. Airlangga Hartanto, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengatakan, aturan free float sudah sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh AEI. Tak hanya itu, AEI juga menilai, batas waktu memenuhi ketentuan tersebut sudah cukup memadai.
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF), salah satu emiten yang memiliki porsi saham publik kurang dari 7,5% menyatakan bakal menyesuaikan aturan baru itu. Namun, Willy Dharma, Direktur Utama ADMF mengaku, sampai saat ini belum memiliki rencana untuk menambah porsi free float. Ia bilang, pihaknya belum mengetahui detail beleid itu. "Kami tunggu aturannya, kalau memang harus demikian, kami harus mematuhi," kata dia kepada KONTAN, Kamis (23/1). Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2013, porsi saham ADMF yang dimiliki publik tercatat hanya 4,58%. Sementara 95% saham dimiliki oleh PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) sebagai pengendali. Tak hanya itu, PT Asuransi Adira Dinamika turut memiliki 0,42% saham. Emiten lain yang pori saham publiknya mini, PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) belum menentukan sikap atas beleid baru BEI. "Kami masih menunggu penjelasan resmi (BEI) minggu depan," kata Edi Permadi, Vice President Corporate Affairs PSAB, Kamis (23/1). Porsi saham PSAB di publik saat ini hanya 5,4% dari total modal disetor. Cara melepas saham Bagi analis, aturan ini akan memaksa emiten merelakan melepas lebih banyak saham ke publik. Nah, sejumlah cara bisa dilakukan emiten yang porsi saham publiknya minim untuk bisa memenuhi syarat minimal 7,5%. "Bisa dengan rights issue, stock split atau mengeluarkan seri saham baru," ujar Lucky Bayu Purnomo, analis Danareksa Sekuritas. Memang nantinya akan ada dilusi kepemilikan pemegang saham pengendali pasca rights issue. Namun ini, menjadi konsekuensi sebagai perusahaan publik. Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker juga memberikan opsi serupa. Dia menambahkan, pilihan lainnya dengan menjual saham simpanan alias treasury stock. Namun masalahnya, tidak semua emiten memiliki saham simpanan.
Satrio juga menilai, beleid ini nanti cenderung memukul emiten dengan kapitalisasi pasar menengah ke bawah. Sebab, saham emiten dengan kategori ini sahamnya mudah digoreng lantaran gampang bergerak tanpa fundamental yang jelas. Akibatnya, menurut dia, seandainya emiten tersebut menggelar rights issue atau menjual saham simpanan belum tentu laku. "Siapa, sih, yang mau rugi? Memang ada yang mau jual saham simpanan di bawah harga buyback," imbuh Satrio. Di sisi lain, jika emiten ingin delisting pun juga akan sulit. Sebab, menurut Satrio, perusahaan yang suka menggoreng saham biasanya enggan membeli semua saham yang beredar di publik. "Mereka tahu untuk delisting harganya sudah tidak wajar," kata dia. Dia pun menyarankan, BEI berani tegas jika memang ada emiten yang tidak mau melepas saham ke publik sesuai aturan baru tersebut. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana