Emiten alat berat kena imbas pajak



JAKARTA. Sentimen negatif kembali menyelimuti industri alat berat. Setelah menghadapi penurunan harga komoditas, emiten alat berat harus menerima pengenaan pajak atas penjualan alat berat.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh para kontraktor pertambangan atas Undang-Undang No 28 Tahun 2009. UU itu menyebutkan alat-alat berat masuk ke dalam klasifikasi kendaraan bermotor.

Oleh karena itu, segala jenis alat berat juga dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Adapun, dasar pengenaan PKB alat berat adalah nilai jual kendaraan bermotor. Tarif yang dikenakan antara 0,1% hingga 0,2%.


Sementara bea balik nama besaran tarif pajak sebesar 0,75% untuk penyerahan pertama. Pada penyerahan kedua dan seterusnya dikenakan sebesar 0,075%.

Arief Budiman, Kepala Riset Sucorinvest Central Gani, berpendapat, pengenaan PKB itu akan menimbulkan sentimen negatif bagi industri alat berat. Kendati besaran pajaknya tidak terlalu besar, perusahaan alat berat kini sedang layu. "Penjualan mereka (perusahaan alat berat) sedang lemah, adanya keputusan ini bisa berdampak negatif," ujar dia, Senin (21/1).

Salah satu pemain besar di industri alat berat adalah PT United Tractors Tbk (UNTR). Melalui anak usahanya, PT Pama Persada Nusantara, UNTR hanya bisa menjual sekitar 6.000 alat berat sepanjang 2012. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, penjualan alat berat tersebut menurun cukup tajam dari sebanyak 9.467 unit di 2011.

PT Intraco Penta Tbk (INTA) pun hanya mampu menjual sebanyak 1.100 unit alat berat. Padahal, target penjualan INTA di tahun 2012 sebanyak 1.600 unit.

Harga jual alat berat

Analis J.P Morgan Securities Indonesia Aditya Srinath mengungkapkan, para pengusaha alat berat, termasuk UNTR, harus mengerek naik harga jual untuk menyiasati agar beban operasional yang juga meningkat.

Apalagi, Pemerintah Provinsi Kalimatan Selatan telah menargetkan mendapat tambahan pemasukan pajak dari sektor alat berat sebesar Rp 1 triliun. "Berdasarkan info ini, kami mengestimasi, ada tambahan biaya untuk industri Rp 5 triliun bagi seluruh bisnis pertambangan dan alat berat UNTR," kata Aditya dalam risetnya, Kamis (17/1).

Namun, menurut Arief, penjual alat berat tidak bisa menaikkan harga jual karena bisa mengurangi permintaan. Jika hal tersebut dilakukan ada, pendapatan dan laba bersih emiten berpotensi terus menurun.

Sementara itu, analis Mandiri Sekuritas Hariyanto Wijaya menilai, kebijakan pajak ini akan mempengaruhi kelangsungan usaha industri alat berat. Namun, dia menduga, pengaruhnya tidak akan sebesar dampak penurunan harga komoditas.

"Saat ini mining contracting tidak sedang dalam pengembangan kapasitas produksi," kata Hariyanto. Dengan demikian, permintaan alat berat akan sepi. Perusahaan kontraktor itu lebih memilih menggunakan mesin lama dan hanya mengganti suku cadang yang usang.

Jadi, penyebab utama tergerusnya kinerja perusahaan alat berat adalah adalah anjloknya harga komoditas. Seperti diketahui, jatuhnya perekonomian global membuat permintaan komoditas dunia menyusut. Hal itu membuat harga komoditas seperti batubara dan minyak sawit mentah (CPO) ikut menciut.

Sebenarnya, para emiten sudah mencoba diversifikasi dengan menjual alat berat di luar sektor komoditas. Misalnya dengan menjual alat berat untuk sektor konstruksi.

Tapi para analis berpendapat, penjualan alat berat untuk sektor konstruksi tidak mampu membantu kinerja emiten. Sebab, harga jual dan margin alat berat di sektor konstruksi lebih rendah ketimbang sektor komoditas.

Para analis ujungnya menilai, saham-saham sektor alat berat masih akan dirundung sentimen negatif sepanjang harga komoditas belum membaik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana