JAKARTA. Kokohnya baja tak menyebabkan para emiten in kebal dari perlambatan ekonomi. Nilai tukar rupiah yang bergejolak belakangan ini turut menjebol kinerja emiten baja. Hadi Sutjipto, Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST), mengatakan, pihaknya belum dapat memprediksi total pendapatan sampai akhir tahun ini. "Situasinya belum menentu, masih ada gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS," ujarnya kepada KONTAN (7/10). Maklum, pendapatan emiten ini dalam bentuk rupiah. Ditambah permintaan baja di tingkat global juga tengah lesu. Sementara, permintaan baja GDST untuk pasar ekspor cenderung tidak menentu alias sporadis.
Menurut Hadi, laba bersih GDST tergerus lantaran sebagian bahan baku impor, sehingga terkena dampak kurs. Dampak kurs turut mengerek biaya pengiriman ekspor. Tak cuma itu, pendapatan GDST pada semester pertama pun belum mencapai setengah total pendapatan tahun lalu yang mencapai Rp 1,22 triliun. Dalam enam bulan pertama tahun ini, GDST baru mencetak pendapatan Rp 488,14 miliar (lihat tabel). PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) mengais nasib sedikit lebih baik. Emiten baja yang kerap dijuluki Spindo ini mencetak kenaikan penjualan 6,63%, menjadi Rp 1,77 triliun pada semester pertama 2015. Pada separuh pertama tahun ini, ISSP telah mencapai setengah pendapatan tahun lalu. "Target pendapatan kami revisi, karena kondisi kurs rupiah sempat melemah tapi sekarang naik kembali. Lagipula harga baja sudah turun banyak," kata Tedja Sukmana Hudianto, Wakil Presiden Direktur Spindo kepada KONTAN. Namun, Tedja belum dapat mengungkapkan detil revisi target pendapatan. Pihaknya masih menunggu hasil kinerja kuartal ketiga. Tedja masih optimistis, memandang prospek bisnis Spindo tahun depan. Proyek infrastruktur pemerintah diramal lebih ngebut ketimbang tahun ini. Spindo juga tengah membidik proyek-proyek swasta. Sementara Bloomberg melaporkan, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) memprediksi kenaikan volume penjualan hingga 30% tahun ini. Kebijakan soal penggunaan baja produksi lokal untuk berbagai proyek menjadi penopang bisnis KRAS. Tapi, KRAS tetap harus ngebut untuk bisa melampaui kinerja tahun lalu. Pendapatan KRAS per Juni hanya US$ 677,24 juta. Pendapatan ini baru sekitar 36% dari total pendapatan KRAS sepanjang tahun lalu. Maxi Liesyaputra, Analis KDB Daewoo Securities, dalam riset di bulan September mengatakan, sebanyak 98% penjualan ISSP selama semester I 2015 merupakan penjualan domestik. ISSP diuntungkan oleh regulasi yang mewajibkan proyek pemerintah menggunakan produk domestik.
Kiswoyo Adi Joe, Managing Partner Investa Saran Mandiri menilai, melemahnya kinerja emiten baja lantaran permintaan baja di dalam negeri yang masih lemah akibat perlambatan ekonomi. Pada saat bersamaan, pasar lokal tengah kena serbuan baja impor dari Tiongkok yang harganya lebih murah. Apalagi, harga jual baja di pasar global juga belum membaik. Di sisi lain, terbitnya beleid kenaikan tarif bea masuk impor untuk produk baja impor pada Mei lalu menjadi angin segar bagi emiten baja. Beleid ini dapat mengerek daya saing produk emiten baja lokal di pasaran dalam negeri. Kiswoyo memprediksi, tahun ini masih berat bagi emiten baja, lantaran harga baja belum membaik dan lesunya permintaan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie