Emiten batal menerbitkan obligasi global



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak depresiasi rupiah mulai terasa. Sejumlah emiten memilih menunda rencana pencarian dana di pasar global untuk belanja modal atau refinancing utang karena kurang menguntungkan.

PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) salah satunya. Perusahaan ini urung menerbitkan global bond US$ 850 juta yang semula dijadwalkan tahun ini. Padahal, rencana ini sudah mendapat persetujuan pemegang saham beberapa waktu lalu. "Betul (karena depresiasi rupiah)," ujar Direktur Keuangan TBIG Helmy Yusman Santoso kepada Kontan.co.id, Kamis (16/8).

Semula, TBIG akan menggunakan dana hasil global bond untuk keperluan refinancing. Sebagian perolehan dana juga untuk kebutuhan belanja modal.


TBIG saat ini mengandalkan strategi hedging, yang memang sudah tak asing bagi perusahaan. Ada dua hedging yang bisa dilakukan, yaitu untuk kurs dan suku bunga. Helmy mengakui, TBIG sudah hedging untuk keduanya.

Lindung nilai bahkan dilakukan hingga jatuh tempo utang. "Sehingga, perusahaan tak terpengaruh depresiasi rupiah, termasuk efek ke suku bunga atau kupon yang harus dibayar," ujar Helmy. Perusahaan ini juga tak perlu renegosiasi utang.

Namun, Helmy tak menampik, butuh biaya lebih besar melakukan hedging saat ini. Cost of fund menjadi lebih mahal sebab pembeli obligasi ingin kupon yang lebih tinggi guna mengompensasi fluktuasi kurs.

Tak hanya TBIG, PT Intiland Development Tbk (DILD) juga menunda penerbitan global bond senilai US$ 250 juta. Padahal, dana tersebut semula akan digunakan untuk restrukturisasi.

Beruntung, DILD masih memiliki cadangan kas dari sejumlah fasilitas pinjaman yang belum ditarik. Dana tersebut bisa digunakan untuk melanjutkan agenda bisnisnya pada tahun ini.

Risiko default

Di tengah fluktuasi seperti saat ini, penerbitan obligasi dalam negeri menjadi alternatif. Seperti, PT Jakarta Lingkar Baratsatu (JLB) yang akan menerbitkan obligasi Rp 1,3 triliun. Kupon yang ditawarkan 9%–10,65%

Persoalannya, saat ini, para emiten membutuhkan dana cukup besar dengan cepat. Penerbitan obligasi di dalam negeri biasanya dilakukan secara berkelanjutan. Likuiditas di dalam negeri juga tidak sebesar pasar global.

Sedangkan, cara lain, seperti penerbitan saham baru alias rights issue juga sulit dilakoni, karena waktunya sempit. Terlebih, jika ada utang jatuh tempo di tahun ini. "Risiko defaults obligasi korporasi membesar setidaknya selama 12 bulan ke depan," ujar Harry Su, Managing Director and Head of Equity Capital Market Samuel Internasional.

Dengan adanya risiko tersebut, kata Harry, perlu antisipasi dini seperti yang ditempuh TBIG. Akan lebih aman hedging sejak awal saat mencari pinjaman dari asing.

Harry menyebut, saat ini, perlu peran pemerintah, terutama untuk mengendalikan rupiah. Rencana pemerintah memotong penerbitan obligasi menjadi sekitar Rp 384 triliun, dinilai positif.

Strategi itu menimbulkan konsekuensi perlambatan ekonomi. Tapi, saat bersamaan, defisit anggaran pemerintah mengecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati