KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten batubara berharap tarif royalti progresif batubara dapat ditinjau ulang mengingat saat ini Indonesia telah masuk di dalam masa kepemimpinan baru, yaitu masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan awalnya tarif ini dikenakan usai disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di tengah harga batubara acuan (HBA) yang saat itu sudah berada di atas US$ 300 per ton maka pemegang IUPK sebagai kelanjutan dari PKP2B Generasi 1 dikenakan tarif royalti progresif tertinggi yakni 28%. Baca Juga: Begini Harapan Pengusaha Batubara untuk Menteri ESDM Era Prabowo "Pertama, tarif 28% itu sudah termasuk tarif yang tinggi, ini kan berlaku bagi pemegang IUPK lanjutan operasi, sementara bagi pemegang IUPK kan tambangnya rata-rata sudah lama ya, dari kontrak yang 30 tahun terus diperpanjang," ungkap Hendra saat dihubungi Kontan, Minggu (20/10). Menurutnya, tambang-tambang yang sudah tua memiliki cost atau biaya yang semakin besar karena proses pengerukan batubara yang semakin dalam. Belum lagi tren harga batubara yang saat ini tidak sebesar saat peraturan ditetapkan pada 2022 lalu. Jadi tambang-tambang yang sudah lama pasti cost-nya lebih besar, pengangkutannya lebih besar, "Cost-nya makin besar karena pertambangannya juga sudah makin dalam. Kemudian kita mesti lihat juga bahwa tren harga juga terus menurun. Waktu PP itu diterbitkan tahun 2022 harga relatif masih tinggi sekali, padahal bisa dibilang itu bukan harga normal, tapi seasonal (musiman)," tambahnya. Padahal menurut Hendra, rata-rata perusahaan batubara yang sudah lama beroperasi ini adalah perusahaan-perusahaan yang memasok kebutuhan batubara untuk PLN. "Perusahaan-perusahaan pemegang IUPK yang sudah lama ini kan adalah supliernya PLN, kalau cost-nya tinggi, ditambah beban biaya royaltinya tinggi ini akan berpengaruh pada cadangan mereka. Akhirnya ini akan berkaitan pada masalah ketahanan energi ke depannya," ungkapnya. Melihat dampak jangka panjang, Hendra mengusulkan agar pemerintah segera meninjau kembali penerapan royalti progresif tersebut. "Sekarang harga (batubara) sudah turun, bebannya makin naik, akibatnya cadangan terpengaruh, nanti pasokan ketahanan ke energinya juga terpengaruh. Jadi kita minta ditinjau kembali kebijakannya," tutupnya. Baca Juga: Ini Harapan Pengusaha EBT untuk Menteri ESDM di Pemerintahan Prabowo Adapun, salah satu emiten batubara yang merasakan dampak negatif dari berlakunya tarif royalti batubara progresif adalah PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Menurut Direktur dan Sekretaris Perusahaan BUMI Dileep Srivastava, perseroan harus membayar royalti batubara sebesar 32% atau hampir sepertiga dari seluruh pendapatan BUMI sepanjang tahun 2023. Dileep menambahkan, angka yang harus dibayarkan BUMI bahkan 4 kali lebih tinggi dari rata-rata royalti nasional. "Iya sepertiga dari pendapatan, (bayar) di tahun sebelumnya 4 kali lebih tinggi dari rata-rata royalti nasional menurut CLSA Sekuritas," ungkap Dileep saat dihubungi Kontan, Senin (21/10). Melihat setoran yang cukup besar, Dileep berharap ke depannya akan ada pertimbangan yang lebih baik agar kinerja BUMI juga tidak terlalu terbebani. "Mudah-mudahan, ada pertimbangan yang lebih baik untuk sektor (batubara) ini, sehingga dapat diterima," tambahnya. Sejalan dengan BUMI, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO), Febriati Nadira mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik apabila terdapat rencana Pemerintah dalam hal ini pemerintahan baru menyesuaikan kewajiban royalti. "Sehingga akan sejalan dengan tujuan memperkuat ketahanan energi, di mana hal ini berkaitan erat dengan cadangan batubara nasional," katanya kepada Kontan, Senin (21/10).
Emiten Batubara Berharap Tarif Royalti Progresif Batubara Ditinjau Ulang
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten batubara berharap tarif royalti progresif batubara dapat ditinjau ulang mengingat saat ini Indonesia telah masuk di dalam masa kepemimpinan baru, yaitu masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan awalnya tarif ini dikenakan usai disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di tengah harga batubara acuan (HBA) yang saat itu sudah berada di atas US$ 300 per ton maka pemegang IUPK sebagai kelanjutan dari PKP2B Generasi 1 dikenakan tarif royalti progresif tertinggi yakni 28%. Baca Juga: Begini Harapan Pengusaha Batubara untuk Menteri ESDM Era Prabowo "Pertama, tarif 28% itu sudah termasuk tarif yang tinggi, ini kan berlaku bagi pemegang IUPK lanjutan operasi, sementara bagi pemegang IUPK kan tambangnya rata-rata sudah lama ya, dari kontrak yang 30 tahun terus diperpanjang," ungkap Hendra saat dihubungi Kontan, Minggu (20/10). Menurutnya, tambang-tambang yang sudah tua memiliki cost atau biaya yang semakin besar karena proses pengerukan batubara yang semakin dalam. Belum lagi tren harga batubara yang saat ini tidak sebesar saat peraturan ditetapkan pada 2022 lalu. Jadi tambang-tambang yang sudah lama pasti cost-nya lebih besar, pengangkutannya lebih besar, "Cost-nya makin besar karena pertambangannya juga sudah makin dalam. Kemudian kita mesti lihat juga bahwa tren harga juga terus menurun. Waktu PP itu diterbitkan tahun 2022 harga relatif masih tinggi sekali, padahal bisa dibilang itu bukan harga normal, tapi seasonal (musiman)," tambahnya. Padahal menurut Hendra, rata-rata perusahaan batubara yang sudah lama beroperasi ini adalah perusahaan-perusahaan yang memasok kebutuhan batubara untuk PLN. "Perusahaan-perusahaan pemegang IUPK yang sudah lama ini kan adalah supliernya PLN, kalau cost-nya tinggi, ditambah beban biaya royaltinya tinggi ini akan berpengaruh pada cadangan mereka. Akhirnya ini akan berkaitan pada masalah ketahanan energi ke depannya," ungkapnya. Melihat dampak jangka panjang, Hendra mengusulkan agar pemerintah segera meninjau kembali penerapan royalti progresif tersebut. "Sekarang harga (batubara) sudah turun, bebannya makin naik, akibatnya cadangan terpengaruh, nanti pasokan ketahanan ke energinya juga terpengaruh. Jadi kita minta ditinjau kembali kebijakannya," tutupnya. Baca Juga: Ini Harapan Pengusaha EBT untuk Menteri ESDM di Pemerintahan Prabowo Adapun, salah satu emiten batubara yang merasakan dampak negatif dari berlakunya tarif royalti batubara progresif adalah PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Menurut Direktur dan Sekretaris Perusahaan BUMI Dileep Srivastava, perseroan harus membayar royalti batubara sebesar 32% atau hampir sepertiga dari seluruh pendapatan BUMI sepanjang tahun 2023. Dileep menambahkan, angka yang harus dibayarkan BUMI bahkan 4 kali lebih tinggi dari rata-rata royalti nasional. "Iya sepertiga dari pendapatan, (bayar) di tahun sebelumnya 4 kali lebih tinggi dari rata-rata royalti nasional menurut CLSA Sekuritas," ungkap Dileep saat dihubungi Kontan, Senin (21/10). Melihat setoran yang cukup besar, Dileep berharap ke depannya akan ada pertimbangan yang lebih baik agar kinerja BUMI juga tidak terlalu terbebani. "Mudah-mudahan, ada pertimbangan yang lebih baik untuk sektor (batubara) ini, sehingga dapat diterima," tambahnya. Sejalan dengan BUMI, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO), Febriati Nadira mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik apabila terdapat rencana Pemerintah dalam hal ini pemerintahan baru menyesuaikan kewajiban royalti. "Sehingga akan sejalan dengan tujuan memperkuat ketahanan energi, di mana hal ini berkaitan erat dengan cadangan batubara nasional," katanya kepada Kontan, Senin (21/10).
TAG: