KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah sentimen masih berpengaruh terhadap sektor batubara Indonesia, salah satunya dampak perang antara Rusia dan Ukraina, yang bermuara pada krisis energi di Benua Biru. Analis Panin Sekuritas Felix Darmawan mengatakan, kebijakan geopolitik dari negara anggota Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) untuk mengenakan sanksi ekonomi berupa larangan impor komoditas dari Rusia, membuat harga berbagai komoditas bergejolak, termasuk batubara. Uni Eropa sendiri cukup bergantung pada pasokan gas Rusia, yang mencapai sekitar 30% dari kebutuhan. Beberapa negara besar seperti Jerman juga menerima suplai gas Rusia, yang kontribusinya mencapai 49%, Italia sebesar 46%, dan Prancis sebesar 24%.
Felix menyebut, dengan diberlakukannya sanksi tersebut, Uni Eropa dan AS berupaya untuk menggantikan gas Rusia dengan energi alternatif, salah satunya adalah batubara, seiring dengan penggunaan kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham yang Bisa Dicermati Hari Ini (1/8), IHSG Rawan Koreksi Indonesia, dalam hal ini diuntungkan dari krisis energi yang melanda Eropa dan juga India. Sejak Uni Eropa melarang impor batubara dari Rusia, Indonesia dan negara lainnya seperti AS, Australia, Afrika Selatan, dan Kolombia menjadi tujuan utama Uni Eropa dalam memenuhi kebutuhan batubaranya. Lenyapnya suplai batubara Rusia yang menjadi eksportir terbesar ketiga di dunia, yang mendorong peningkatan harga batubara global, turut membantu kinerja emiten batubara Indonesia seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (
ITMG), PT Bukit Asam Tbk (
PTBA), dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO), untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi serta margin laba yang besar. Namun, menurut Felix, keuntungan tersebut tidak dapat sepenuhnya dipenuhi, karena Indonesia dilanda curah hujan yang tinggi pada paruh pertama 2022, yang membuat produksi batubara kurang maksimal. Realisasi produksi hingga Mei 2022 masih 41% dari target produksi 2022 sebesar 663 juta ton. Hanya saja, patut diketahui, peningkatan harga batubara global akan tetap berdampak baik bagi emiten batubara. Penjualan emiten pada umumnya memiliki jeda harga (price lag) selama 3 bulan sampai 6 bulan. “Hal tersebut bertranslasi kepada kepastian peningkatan harga jual rata-rata atau
average selling price (ASP) pada tahun 2022,” terang Felix.
Analis DBS Vickers Sekuritas Indonesia, William Simadiputra menaikkan proyeksi harga batubara Newcastle menjadi US$ 200 per ton pada tahun ini dan US$ 110 per ton pada tahun depan seiring tersendatnya pasokan karena hilangnya stok batubara Rusia. Hal ini akan mendukung pergerakan harga batubara ke depan. Di sisi lain, William yakin harga batubara yang tinggi saat ini tidak akan bertahan lama di tengah ketakutan akan terjadinya resesi. Akan tetapi, dia juga tidak dapat mengabaikan
restocking batubara yang terus menerus dilakukan oleh Jerman dan negara- lain seperti China. Di tengah kecamuk perang, pasar kehilangan sekitar 10% ekspor batubara global dari Rusia. Sementara itu, negara lain seperti Indonesia belum gencar meningkatkan produksinya Sejalan, saham-saham batubara yang berkinerja baik di paruh pertama 2022, dinilai William masih memiliki ruang untuk mempertahankan kinerja positifnya. ADRO misalnya, memperpanjang program pembelian kembali (
buyback) saham. Adapula potensi dividen yang ditawarkan oleh ITMG. Dalam riset tertanggal 5 Juli 2022, analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan menilai, pembentukan badan layanan umum (BLU) batubara dan perubahan royalti pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) akan menjadi era baru bagi sektor batubara Indonesia.
Baca Juga: Kinerja Indeks Kompas100 Melampaui IHSG, Intip Rekomendasi Sahamnya “Kami meyakini penerima manfaat utama dari pembentukan (BLU) ini adalah para penambang batubara yang sebagian besar volume penjualannya berada di pasar domestik, PTBA misalnya,” tulis Hasan. Pemerintah telah menaikkan tarif royalti untuk penambang batubara dari tarif tunggal 13,5% menjadi di kisaran 14%-27%, tergantung pada harga batubara acuan (HBA). Di bawah skema baru ini, penambang yang memegang izin khusus yang dikonversi dari kontrak lama, yang disebut kontrak "generasi pertama" akan dikenakan royalti produksi sebesar 14%-27% tergantung pada kelompok harga. ADRO adalah penambang batubara di bawah cakupan analisis Hasan yang memiliki izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan segera dikonversi menjadi IUPK. Dengan demikian, dengan asumsi harga batubara masih di atas US$ 100 per ton pada 2023, Hasan memperkirakan royalti yang dikenakan terhadap ADRO akan berkisar sekitar 27%. Felix menyematkan
rating overweight untuk sektor batubara dengan saham ADRO sebagai pilihan utama atau
top picks. Hal ini didorong oleh ekspektasi positif terhadap kenaikan proyeksi harga batubara menjadi US$ 250 per ton di akhir tahun 2022, berbanding dengan realisasi harga pada 2021 yang hanya US$ 137 per ton. Moncernya harga batubara tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti potensi peningkatan harga batubara berdasarkan krisis pasokan gas Rusia ke Eropa, peningkatan permintaan di India seiring dengan stok nasional yang menurun dan masuknya musim panas.
Baca Juga: Tren Harga Batubara Topang Kinerja Emiten “Serta musim dingin yang akan tiba dimana negara di bagian utara cenderung akan menyimpan stok,” sambung Felix Hasan juga menyematkan rating
overweight terhadap sektor batubara Indonesia. Dengan harga rata-rata batubara secara
year-to-date (ytd) saat ini berada pada level US$ 316 per ton, BRI Danareksa meyakini penambang batubara akan membukukan laba yang solid tahun ini. BRI Danareksa menjadikan PTBA sebagai
top pick di sektor batubara, karena dampak dari perubahan kebijakan baru di sektor ini berdampak positif bagi PTBA.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari