KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Moody's menyebutkan bahwa perkembangan regulasi di Indonesia dan Tiongkok akan menekan harga batubara hingga tahun 2020. Akibatnya pendapatan perusahaan tambang akan lebih rendah dan melemahkan kemampuan membayar utang dan kemampuan membayar bunga utang. Moody's menjelaskan ada enam perusahaan batubara di Indonesia yang akan terkena dampak tersebut. Enam perusahaan tersebut antara lain PT Bayan Resources Tbk (BYAN), Golden Energy and Ressources Ltd, PT Adaro Energy Tbk (ADRO), Geo Energy Resources Limited, PT ABM Investama Tbk (ABMM), PT Indika Energy Tbk (INDY) dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Sebenarnya kondisi tersebut bisa dilihat dari debt to equity ratio (DER) tiap emiten. DER menggambarkan tingkat utang terhadap keseluruhan modal. Pada kuartal I-2019, DER ADRO tercatat 59,05%. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan kuartal I-2018 di mana DER ADRO tercatat 62,74%.
Contoh lain, DER ABMM pada kuartal I-2019 tercatat 229,4%, DER BUMI tercatat 602,39% dan DER BYAN tercatat 52,71%. Namun, Senior Manager Research Analyst Kresna Sekuritas Robertus Yanuar mengatakan, DER tak bisa menggambarkan kondisi kesehatan perusahaan secara keseluruhan. Sebab tidak semua utang yang masuk dalam DER memiliki beban bunga. Oleh karena itu dia menggunakan hitungan interest coverage ratio. Dari hasil analisanya, emiten tambang batubara di Indonesia masih baik. "Leverage semuanya masih manageable. Apalagi ekspektasi suku bunga akan turun," kata Robertus kepada Kontan.co.id, Rabu (17/7). Kendati begitu, Robertus menjelaskan bahwa prospek bisnis batubara tahun ini memang kurang bagus. Dia memperkirakan, nilai pendapatan tidak akan lebih tinggi dari tahun lalu. Kondisi ini terjadi karena adanya penurunan harga batubara. Selain itu, China sebagai konsumen terbesar di kawasan Asia juga masih terlibat dalam perang dagang sehingga melemahkan kinerja sektor manufaktur dan konsumsi listriknya.