KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja saham emiten produsen dan pemasok beras masih belum pulen. Rencana pemerintah untuk mencabut aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras ditaksir tak banyak menghembuskan angin segar. Sebagai informasi, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan berencana mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan HET Beras. Rencana itu diatur dalam Keputusan Mendag Nomor 7 tahun 2023 tentang Program Penyusunan Permendag Tahun 2023. Beleid tersebut menyebut rancangan Permendag tentang pencabutan atas peraturan di bidang barang kebutuhan pokok. Rencananya, ada empat aturan yang dicabut. Salah satunya Permendag Nomor 57 Tahun 2017, regulasi yang menetapkan HET berdasarkan wilayah penjualan untuk beras medium dan beras premium.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian membeberikan catatan, perlu dicermati kembali bagaimana aturan pengganti dari Permendag tentang HET tersebut. Sekalipun nanti dicabut, dia menaksir, sentimen terhadap emiten beras tak akan signifikan.
Baca Juga: Genjot Jaringan Ritel, Buyung Poetra (HOKI) Bakal Tambah 80 Warung Koki Alasannya, pemerintah ingin mengendalikan harga kebutuhan pokok agar tidak terlalu tinggi, apalagi untuk komoditas beras. Pemerintah menjalankan berbagai upaya menjaga stabilitas harga dan persediaan (stok), termasuk dengan kebijakan impor. Dengan limpahan stok dari impor, emiten beras tidak bisa leluasa untuk mengerek margin pada harga jual. "Saham emiten beras terkoreksi belakangan ini juga karena ada sentimen kebijakan impor beras. Sehingga berpotensi menekan harga beras emiten dan tergerusnya penjualan," ujar Fajar kepada Kontan.co.id, Rabu (11/1). Sebagai informasi, emiten yang fokus bergelut di bidang usaha produsen dan pemasok beras adalah PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI) dan PT Wahana Inti Makmur Tbk (NASI). Kedua saham tersebut dominan memerah dengan tren turun yang signifikan dalam enam bulan terakhir. HOKI, pada perdagangan hari ini (11/1) tidak beranjak dari posisi penutupan kemarin, yakni di level harga Rp 99 per lembar saham. Dalam periode enam bulan, harga saham HOKI sudah tergerus 23,85%.
Baca Juga: Cermati Rekomendasi Saham-Saham Produsen Beras Berikut Nasib NASI lebih nahas. Harga saham NASI ambles 5,88% hingga penutupan pasar hari ini. Mengakumulasi penurunan 63,96% dalam enam bulan terakhir. Saat ini saham NASI diperdagangkan dengan harga Rp 80 per lembar. Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo, menganalisa jika nanti HET dicabut, maka bisa memberikan dampak positif bagi emiten beras. Setidaknya, berpotensi mengangkat kinerja
top line atau penjualan. Secara industri, bisnis emiten beras pun terbilang punya prospek apik dengan karakteristik barang konsumen primer yang tahan banting (defensif). Hanya saja, dampak terhadap minat investor untuk memilih saham emiten beras akan tergantung dari sejauh mana perusahaan bisa menumbuhkan kinerja
bottom line. "Saat ini kami menyarankan
wait and see terlebih dulu hingga ada perbaikan kinerja keuangan khususnya
bottom line dari emiten beras," ujar Azis.
Baca Juga: Bidik Penjualan Beras dengan Omzet Besar, Wahana Inti Makmur (NASI) Ambil Jurus Ini Fajar sepakat bahwa secara fundamental, kedua emiten beras itu membukukan kinerja keuangan yang tidak mengesankan. Sehingga, investor cenderung memilih saham barang konsumen primer lain yang sama defensif namun dengan kinerja lebih apik. Merujuk laporan keuangan per kuartal ketiga 2022, penjualan neto HOKI hanya tumbuh tipis 5,43% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 664,25 miliar. Namun, laba bersih HOKI ambles 84,48% menjadi Rp 1,79 miliar.
Sebaliknya, penjualan NASI merosot 7,56% secara YoY menjadi Rp 41,8 miliar hingga September 2022. Laba neto NASI berhasil melonjak 32,54% dengan jumlah yang masih terbatas di Rp 706,02 juta. Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya ikut menyoroti, baik NASI maupun HOKI memiliki kapitalisasi pasar yang kecil dan likuiditas terbatas. Alhasil, saham keduanya kurang likuid untuk
trading. Cheril pun belum menyarankan sebagai pilihan investasi. "Kapitalisasi kecil dan likuiditas terbatas sehingga pergerakan harganya tidak mencerminkan kinerjanya tapi lebih digerakkan oleh psikologi pasar," tandas Cheril. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati