KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten dengan kapitalisasi pasar (market cap) jumbo mengalami rotasi. Saat ini, ada 15 emiten berkategori big cap di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang punya market cap di atas Rp 100 triliun. PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA) masih kokoh di daftar puncak dengan market cap senilai Rp 1.140,29 triliun. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI) membuntuti dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 848,73 triliun. Selanjutnya, PT Bayan Resources Tbk (
BYAN), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI), dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM) masih menghuni daftar lima besar market cap terbesar. Sementara itu, emiten pendatang baru, PT Amman Mineral Internasional Tbk (
AMMN) langsung tancap gas merangsek ke jajaran emiten big cap.
AMMN bercokol di posisi keenam big cap dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 321,46 triliun. Membalap PT Astra International Tbk (
ASII) yang kini ada di posisi ketujuh dengan market cap senilai Rp 259,09 triliun.
Baca Juga: Saham Bank Lapis Dua Masuk Top Picks Kawasan ASEAN, Cek Rekomendasi Analis Tak hanya AMMN, PT Barito Pacific Tbk (
BRPT) ikut ngebut. Hingga perdagangan Rabu (30/8), market cap emiten milik taipan Prajogo Pangestu ini mencapai Rp 105,91 triliun. Padahal, hingga akhir Juli 2023, market cap BRPT masih berkisar di angka Rp 72,65 triliun. Berbeda nasib dengan anak usaha ASII, PT United Tractors Tbk (
UNTR) yang saat ini market cap-nya menciut ke level Rp 98,29 triliun. Sebagai perbandingan, pada akhir Juli market cap UNTR masih bernilai Rp 102,67 triliun. Analis Ekuator Swarna Sekuritas, David Sutyanto melihat perubahan posisi market cap di bursa mencerminkan adanya dinamika pasar. Kondisi ini bisa ikut menggambarkan rotasi sektor yang sedang terjadi secara industri maupun perubahan saham-saham pilihan dari pelaku pasar. Saham bank masih menjadi unggulan, sejalan dengan kinerja dan prospek bisnisnya yang stabil. Berbeda dari sektor tambang yang lebih fluktuatif mengekor dinamika harga komoditasnya. "Market cap juga bisa dipengaruhi dari pergerakan harga. Apabila harga naik, maka market cap akan meningkat," kata David kepada Kontan.co.id, Rabu (30/8). Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan menyoroti saham UNTR. Kata dia, fluktuasi harga maupun market cap UNTR tak lepas dari segmen bisnis batubara yang melandai. Ketika sentimen negatif lebih dominan menerpa, maka harga sahamnya akan ikut terseret.
Berbeda dengan BRPT yang dalam sebulan terakhir sahamnya melaju hingga 41,14%. Pergerakan saham BRPT terpapar sentimen positif, termasuk dari prospek penyelenggaraan Bursa Karbon. BRPT bisa menghirup angin segar lewat bisnis panas bumi. "Sejalan dengan wacana karbon trading yang menguntungkan bagi pemain geothermal, maka itu juga menjadi sentimen positif untuk BRPT," sebut Felix. Toh, Felix melihat emiten yang terkait dengan rantai pasok industri energi terbarukan sedang mendapat panggung. Hal ini juga yang menjadi katalis penting bagi saham-saham emiten nikel sebagai global supply chain untuk industri baterai kendaraan listrik. Selain itu, muncul emiten-emiten baru dengan skala usaha jumbo dan prospek bisnis yang dinilai apik. Seperti PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) maupun AMMN. "Investor relatif mengapresiasinya apalagi ditambah dengan market cap yang besar," ujar Felix.
Referensi Investasi
Pergeseran peta emiten market cap jumbo bisa membawa dampak bagi pergerakan pasar saham yang dicerminkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), lantaran posisinya sebagai market movers. Namun, sejauh ini CEO Edvisor Profina Visindo Praska Putrantyo menaksir dampaknya tidak terlalu signifikan. Menurut Praska, secara tidak langsung posisi market cap bisa memengaruhi minat investor, terutama jika terjadi perubahan yang mencolok. Market cap menjadi pertimbangan, khususnya bagi investor institusi yang memiliki preferensi atas nilai market tertentu. "Market cap bisa menjadi pertimbangan pemilihan investasi, di samping aspek fundamental. Hanya saja, investor akan tetap memperhatikan prospek atau potensi kinerja keuangan emiten tersebut," kata Praska.
Baca Juga: Penerbit dan Underlying Saham KianLuas, Waran Terstruktur Makin Tumbuh Subur Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menimpali, meski bisa memengaruhi minat investasi, tapi market cap tidak menjadi parameter utama. Dalam menentukan keputusan koleksi, investor akan lebih mempertimbangkan kondisi fundamental, prospek kinerja dan valuasi sahamnya. Berbagai sentimen yang menyelimuti saham ikut memegang peranan penting. Sukarno mencontohkan UNTR yang secara kinerja keuangan dan prospek bisnis masih apik. Hanya saja, saham UNTR terseret oleh rotasi sektor komoditas dan aksi profit taking setelah musim pembagian dividen. Di antara saham-saham big caps di atas Rp 100 triliun, Sukarno masih menjagokan saham big bank yakni BBRI, BMRI dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (
BBNI). Selain itu, saham TLKM, ASII, BRPT dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP) juga layak koleksi.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus sepakat, investor akan mencermati fundamental, valuasi, dan prospek bisnis dalam menentukan posisi beli, hold atau jual. Korelasi sentimen global dan domestik terhadap sektor bisnis emiten juga menjadi pertimbangan. "Market cap merupakan pilihan, tergantung dari sisi mana investor memandangnya. Apabila secara fundamental bagus, maka market cap akan terjaga. Apalagi secara potensi valuasi saham tersebut terus tumbuh, ini penting untuk menjaga market cap-nya," terang Nico. Saham big cap pilihan Nico adalah BBCA, BBRI, BMRI, TLKM, ASII, BBNI, ICBP, dan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (
AMRT). Selain itu, UNTR juga masih layak koleksi. Sedangkan Praska menyematkan rekomendasi buy untuk saham ASII. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari