KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten sawit masih menghadapi sejumlah tantangan pada tahun 2023. Tetapi kinerja emiten
crude palm oil (CPO) kemungkinan akan terkerek di tahun 2024. Analis Trimegah Sekuritas Willinoy Sitorus mengatakan, industri minyak sawit mentah alias CPO Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan pada semester I 2023. Hal ini tercermin dalam kinerja keuangan beberapa emiten CPO, seperti PT Triputra Agro Persada Tbk (
TAPG), PT Dharma Satya Nusantara Tbk (
DSNG), dan PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (
NSSS).
“Pendapatan rata-rata mereka anjlok sekitar 48% secara tahunan, karena dua faktor utama,” ujarnya dalam riset Trimegah tertanggal 7 Desember 2023.
Baca Juga: Masih Diselimuti Sentimen Negatif, Kinerja Emiten CPO Diprediksi Stagnan Pertama, harga jual rata-rata atawa
average selling price (ASP) campuran (CPO+ palm kernel) sejumlah emiten turun menjadi Rp 11.100 per kilogram. Artinya, terjadi penurunan substansial sebesar 10% secara tahunan. “Penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya pasokan minyak nabati global,” tuturnya.
Kedua, biaya input untuk perusahaan CPO melonjak menjadi Rp 8.500 per kilogram, naik 5% secara tahunan. Hal ini didorong oleh meroketnya harga pupuk mencapai Rp 11.000-Rp 12.000 per kilogram, naik 40%-50% secara tahunan yang disebabkan kekurangan bahan akibat meningkatnya masalah ketahanan pangan. Sisi positifnya, TAPG berhasil bangkit kembali di antara emiten CPO lainnya. Laba bersih Triputra Agro pada kuartal III naik ke Rp 634 miliar, naik 261,8% secara kuartalan. Sehingga, laba bersih TAPG hingga September 2023 menjadi Rp 1,1 triliun, turun 52,8% secara tahunan.
Baca Juga: Cisadane Sawit Raya (CSRA) Bangun Pabrik Kelapa Sawit Ketiiga di Sumsel Hal ini didorong oleh volume penjualan yang naik 21,2% secara kuartalan menjadi 225 kiloton dan
blended ASP (CPO+PK) naik 1,3% secara kuartalan menjadi Rp 10.000 per kilogram. “Biaya input perusahaan turun 17% secara kuartalan menjadi Rp 6.900 per kilogram, karena perusahaan telah memenuhi kebutuhan pupuknya dengan harga yang lebih rendah,” papar dia. Di sisi lain, pendapatan DSNG masih belum membaik di kuartal III 2023. Laba bersih Dharma Satya pada kuartal III stagnan secara kuartalan di angka Rp 144 miliar, karena beberapa pelanggannya menghentikan permintaan pesanan. Akibatnya, laba bersih DSNG hingga September 2023 hanya naik 43,8% secara tahunan menjadi Rp 504 miliar. Tantangan tersebut berasal dari volume penjualan DSNG, yang tidak berubah secara kuartalan di angka 176.000 per ton. “Selain itu, harga jual rata-rata campuran turun ke Rp 10.900 per kilogram, menunjukkan penurunan sebesar 6,5% secara kuartalan,” paparnya.
Baca Juga: Triputra Agro (TAPG) Optimistis Bisa Tetap Bersaing di Bisnis Kelapa Sawit Meskipun begitu, Willinoy melihat prospek positif terhadap industri CPO pada tahun 2024. Dia memproyeksikan kenaikan harga CPO global (Malaysia) ke kisaran RM 4.200 per ton-RM 4.400 per ton pada tahun 2024. Pada tahun 2023, harga CPO diperkirakan hanya ada di RM 4.000 per ton. Tren peningkatan ini disebabkan oleh ekspektasi penurunan produksi CPO di Indonesia dan Malaysia. Baik GAPKI maupun MPOB memperkirakan penurunan produksi CPO kedua negara menjadi 63,5 juta ton di tahun 2024, turun dari tahun 2023 sebesar 64,5 juta ton. Sentimennya berasal dari fenomena El Nino pada tahun 2023 dan penuaan perkebunan di kedua negara. Perusahaan-perusahaan CPO di Indonesia memiliki rata-rata umur tanaman sekitar 14 tahun. “Sementara, tanaman sawit milik perusahaan di Malaysia rata-rata berumur sekitar 16 tahun, berdasarkan data profil tanaman dari pemain terkemuka di negara tersebut,” tuturnya.
Baca Juga: Emiten CPO Dibayangi Penurunan Harga, Cek Rekomendasi Sahamnya Karena harga CPO global yang lebih tinggi dan biaya input yang lebih rendah, pendapatan TAPG, DSNG, dan NSSS diperkirakan akan melonjak menjadi Rp 1,6 triliun, Rp 1 triliun, dan Rp 200 juta di tahun 2024. “Raihan itu naik 29% untuk TAPG, DSNG naik 24%, dan NSSS naik 472,2% secara tahunan,” ungkapnya. Oleh karena itu, Willinoy merekomendasikan beli untuk TAPG dengan target harga Rp 775 per saham. Sentimennya berasal dari perkiraan kinerja pendapatan TAPG yang bisa tumbuh di tahun 2024. Selain itu, produksi tandan buah segar (TBS) TAPG diprediksi akan menjadi yang tertinggi di antara perusahaan sejenis. Sebab, profil umur pohon sawit muda dan produktif, sekitar 12,7 tahun, dan 93% tanaman sawit TAPG berlokasi di wilayah Kalimantan, yang diperkirakan tidak akan terlalu terpengaruh oleh fenomena El Nino,
“TAPG juga telah memenuhi kebutuhan pupuk di tahun 224 dengan harga yang sama sebelum perang Rusia-Ukraina,” tuturnya. Di sisi lain, sentimen negatif kinerja TAPG di tahun 2024 adalah harga CPO global yang lebih rendah dari perkiraan, harga pupuk global yang lebih tinggi dari perkiraan, serta produksi TBS para pekebun CPO yang lebih buruk dari perkiraan akibat dampak El Nino. “Risiko lainnya ada dari pemerintah Indonesia menaikkan pungutan CPO dan tarif pajak keluar,” paparnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati