Emiten CPO Hadapi Tantangan pada Akhir 2025, Simak Rekomendasi Sahamnya



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja emiten kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) tengah menghadapi tantangan di akhir tahun 2025.

Tantangan utama berasal dari penurunan harga CPO global. Melansir trading economics, harga CPO saat ini berada di level MYR 4.146 per ton. Ini turun 0,07% dalam sebulan dan terkoreksi 6,71% sejak awal tahun alias year to date (YTD).

Meskipun ada penurunan harga, namun emiten CPO tetap optimis bisa tetap mencatatkan pertumbuhan pendapatan di tahun 2026. PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) misalnya, yang optimistis pendapatan tahun 2026 bisa tumbuh double digit. 


“Proyeksi pendapatan tahun 2026 kami optimistis menargetkan tumbuh 10%-20% dari target 2025,” kata Deni Agustinus, Corporate Secretary SSMS, kepada Kontan beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Kinerja Emiten CPO Grup Salim Subur, Simak Prospek dan Rekomendasinya

Per 30 September 2025, SSMS membukukan laba bersih sebesar Rp 1 triliun, naik dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2024 sebesar Rp 609,3 miliar. Laba bersih per saham pun senilai Rp 105,40 per lembar.  

Sementara, pendapatan yang dikantongi sebesar Rp 11,01 triliun per kuartal III 2025, naik dari Rp 7,38 triliun pada periode sama tahun lalu. Capaian ini sudah mencakup 113% dari target pendapatan SSMS sepanjang 2025.

Untuk tahun 2026, SSMS menetapkan proyeksi produksi TBS sebanyak 2.010.098 metrik ton. Ini tumbuh 29% dari proyeksi sepanjang tahun 2025 dan naik 19% dari target awal tahun ini. 

“Untuk produksi CPO, perseroan menetapkan target produksi sebanyak 773.413 metrik ton di tahun depan. Ini tumbuh 44% dari forecast 2025, dan tumbuh 23% dari target awal 2025,” tuturnya. 

PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) juga percaya diri bisa mencatatkan peningkatan pendapatan di tahun depan. Namun, SGRO belum menyampaikan target pertumbuhan pendapatan maupun produksi di tahun 2026.

“Dengan harga CPO yang diperkirakan akan tetap baik tahun 2025 dan produksi CPO dan TBS yang diperkirakan akan lebih baik dari tahun sebelumnya, diharapkan dapat membantu terhadap kinerja keuangan pada tahun 2025 ini,” tuturnya. 

Selain itu, ada emiten CPO yang menghadapi tantangan dari dampak bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Yaitu, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT).

Baca Juga: Kenaikan Harga CPO jadi Berkah Emiten Sawit, Cek Rekomendasi Sahamnya

Terkait hal itu, Corporate Secretary LSIP Fajar Triadi mengatakan, area yang terdampak bencana banjir tersebut sebanyak di bawah 2% dari total luas lahan perkebunan perseroan di Sumatra Utara.

“Area yang terdampak genangan air di bawah 2% dari total luas lahan perkebunan Perseroan di Sumatra Utara dan kondisinya terus membaik. Hal ini tidak berdampak signifikan baik dari aspek

finansial, fasilitas produksi dan kegiatan operasional perseroan,” ujarnya dalam keterbukaan informasi tanggal 10 Desember 2025.

Fajar bilang, LSIP pun terus memantau kondisi di lapangan guna mengantisipasi dan memastikan kesehatan, keselamatan, dan keamanan bagi para karyawan yang bekerja di lokasi.

Sementara, ANJT punya kebun di Provinsi Sumatra Utara melalui entitas anak, PT Austindo Nusantara Jaya Agri (ANJA) yang berlokasi di Binanga dan PT Austindo Nusantara Jaya Agri Siais (ANJAS) yang berlokasi di Padang Sidempuan.

Berdasarkan laporan, kegiatan di Kebun ANJA tetap berjalan normal dan tidak mengalami dampak banjir maupun tanah longsor, sehingga seluruh kegiatan operasional berlangsung seperti biasa.

Sementara itu, Kebun ANJAS mengalami gangguan operasional akibat curah hujan yang tinggi dan genangan air di beberapa bagian areal kebun, serta adanya sejumlah titik longsor pada jalan poros ANJAS-Padang Sidempuan yang menghambat proses logistik.

“Meskipun demikian, seluruh fasilitas, seperti perumahan karyawan, gudang, PKS, kantor kebun, dan klinik dalam kondisi aman. Seluruh karyawan serta staf berada dalam kondisi selamat dan sehat,” kata Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaan ANJT, Hilman Lukito dalam keterbukaan informasi tanggal 10 Desember.

Hilman bilang, berdasarkan evaluasi awal, dampak kejadian ini terhadap pendapatan perseroan diperkirakan tidak bersifat material. Sebagai bagian dari upaya pemulihan, jalan poros utama telah selesai diperbaiki pada tanggal 2 Desember, sehingga distribusi logistik kembali normal.

Baca Juga: Kinerja Emiten CPO Haji Isam Moncer per Kuartal III 2025, Begini Prospeknya

Kegiatan operasional kebun dan PKS telah dimulai kembali pada tanggal 3 Desember dan suplai listrik PLN di area kebun telah pulih. Saat ini, perbaikan terhadap sejumlah infrastruktur internal, termasuk jalan produksi dan jembatan penghubung antarblok masih berlangsung untuk memastikan operasional dapat kembali berjalan secara optimal.

Insiden tersebut pun diakui ANJT tidak menimbulkan perubahan terhadap strategi pasokan dan logistik perseroan. 

“Tidak terdapat kebutuhan untuk melakukan relokasi proses produksi, pengalihan jalur distribusi secara permanen, maupun pencarian kawasan industri alternatif, mengingat gangguan yang terjadi dapat diatasi secara efektif,” ungkapnya.

Pengamat Pasar Modal sekaligus Co-Founder AP Trading Insight Singapore, Kiswoyo Adi Joe melihat, meskipun harga CPO mengalami penurunan, tetapi emiten sawit masih bisa mencatatkan margin yang bagus selama harga masih di kisaran MYR 4.000 per ton.

“Bahkan jika ada koreksi sesaat ke MYR 3.800 per ton, mereka masih aman. Ini lantaran biaya produksi para emiten yang biasanya di bawah MYR 1.500 per ton,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (16/12/2025).

Di sisi lain, pertumbuhan produksi nasional juga diproyeksikan tidak sampai 2% pada tahun 2026. Ini karena mayoritas tanaman sawit secara nasional yang sudah tidak ada pada rentang usia produktif, yaitu di atas 15 tahun. 

Replanting juga masih akan berjalan lambat, khususnya pada perkebunan milik petani rakyat. Sebab, harga yang tinggi membuat para petani rakyat ogah melakukan replanting dan memilih menjual produksi di harga atas. Pada saat yang bersamaan, emiten besar seperti LSIP dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang aktif replanting, sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan produksi.

Di sisi lain, banjir bandang dan tanah longsor Sumatra dinilai Kiswoyo tak akan menjadi katalis negatif signifikan ke kinerja emiten CPO yang terdampak. Meskipun ada biaya yang keluar untuk perbaikan, tetapi kemungkinan tidak akan sampai mengganggu arus kas karena lahan yang terdampak hanya di bawah 2%.

Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo mengatakan, Banjir Sumatra bisa menaikan harga CPO, mengingat ada suplai yang terganggu. Namun, hal ini harus didorong dengan meningkatnya permintaan. 

Selain itu, momen Natal dan Tahun Baru bisa menjadi momen meningkatnya permintaan, sehingga bisa berpotensi menaikan harga CPO. “Di sisi lain banjir juga bisa berdampak pada emiten CPO yang terdampak karena ada potensi penurunan volume,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (16/12/2025).

Prospek dan Rekomendasi

Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas Fath Aliansyah menjelaskan, harga saham emiten CPO sudah naik banyak sepanjang tahun 2025.

Tengok saja, harga saham PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) yang naik 94,77% YTD. Saham SSMS naik 23,46% YTD, PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) naik 54,74% YTD, LSIP naik 18,97% YTD, ANJT melesat 144,76% YTD, dan AALI 18,55% YTD.

“Mayoritas saham-saham CPO sudah mengalami kenaikan yang 30-40% YTD, bahkan lebih dari 100% sejak awal tahun sampai ke titik tertinggi,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (16/12/2025).

Sehingga, jika terjadi koreksi harga saham emiten CPO dalam beberapa waktu belakangan juga merupakan hal yang wajar. Misalnya, dalam sebulan terakhir, ANJT sudah turun 11,39%, AALI turun 4,55%, LSIP 16,25%, TAPG 13,37%, dan DSNG 9,82%.

“Sementara, efek Banjir Sumatra perlu dilihat dalam beberapa waktu ke depan, karena cuaca ekstrim masih berlangsung,” ungkapnya.

Alhasil, Fath masih merekomendasikan wait and see untuk emiten CPO.

Azis bilang, koreksi saham emiten CPO juga merupakan hal wajar, mengingat harga yang sudah tinggi. Namun, hal ini bisa menjadi kesempatan bagi investor untuk masuk, karena valuasi akan terlihat murah dan memiliki potensi kenaikan. 

“Tetapi kami lebih menyarankan untuk melihat momentum adanya pembalikan arah,” tuturnya.

Di tahun 2026, prospek emiten CPO juga masih positif lantaran ada penerapan B50 yang berpotensi meningkatkan permintaan domestik.

“B50 juga bisa menambah permintaan dari domestik dan akan mengurangi ekspor, sehingga tetap menjaga harga CPO di atas MYR 4.000 per ton,” ungkap Kiswoyo.

Azis merekomendasikan beli untuk SSMS dengan target harga Rp 1.920 per saham. Sementara, Kiswoyo merekomendasikan beli untuk LSIP, AALI, dan ANJT dengan target harga jangka panjang masing-masing Rp 2.000 per saham, Rp 10.000 per saham, dan Rp 2.000 per saham.

Selanjutnya: 22 Tahun Melantai di Bursa Efek Indonesia, Harga Saham BBRI Telah Naik 48 Kali

Menarik Dibaca: Rapikan Rumah Jelang Akhir Tahun Untuk Sambut Tamu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News