Emiten-emiten tahan banting saat bunga makin mekar



Jakarta. Tanggal 13 Juni 2013 menjadi salah satu tanggal yang bersejarah bagi Bank Indonesia (BI). Hari itu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) bank sentral tersebut memutuskan kembali menaikkan tingkat bunga acuan Indonesia yang populer dengan sebutan BI rate setinggi 0,25% menjadi 6%.Mengapa bersejarah? Sebab, sebelumnya BI sudah mempertahankan BI rate di level 5,75% atau level terendah sepanjang sejarah sejak Februari 2012. Sehari sebelumnya, BI juga menaikkan suku bunga fasilitas simpanan Bank Indonesia (FasBI) dari 4% menjadi 4,25%.Pasar saham merespon positif keputusan bank sentral tersebut. Sehari setelah BI rate naik, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga naik. Bila sehari sebelumnya IHSG ditutup di level 4,607,66, pada Jumat (14/6) IHSG naik signifikan ke level 4.760,74. “Pasar memang sudah menanti kenaikan BI rate,” kata Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities.Para analis menuturkan, pada dasarnya, kenaikan BI rate sebesar 0,25% tidak akan mengganggu kinerja emiten-emiten di bursa. Selain itu, para emiten sendiri sudah menyiapkan langkah untuk mengatasi dampak kenaikan BI rate.Sentimen negatifHanya saja, para pelaku pasar juga perlu mewaspadai kemungkinan BI kembali menaikkan suku bunga acuan. Jangan lupa, pemerintah bakal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.Kenaikan BBM bisa menggiring inflasi ikut naik. Bila inflasi naik, maka peluang BI menaikkan suku bunga kembaliterbuka. “Sampai akhir tahun paling mungkin BI menaikkan sebanyak 50 basis poin,” prediksi Rizky Hidayat, analis Mandiri Sekuritas.Kalau suku bunga akhirnya naik tinggi, ada beberapa sektor saham yang bakal merasakan langsung dampaknya. Salah satunya, sektor perbankan. Di satu sisi, emiten perbankan diuntungkan dengan kenaikan suku bunga. Pasalnya, pendapatan bunga mereka bisa naik. Tapi di sisi lain, bila bunga naik terlalu tinggi, perbankan akan mengahadapi risiko kenaikan kredit bermasalah.Sektor lain yang terkena sentimen negatif kenaikan suku bunga adalah sektor properti dan otomotif. Maklum saja, kebanyakan orang Indonesia masih membeli properti dan kendaraan dengan mengandalkan pembiayaan industri keuangan.Meski begitu bukan berarti investor harus menjauhi saham perbankan, properti, atau otomotif. Ada beberapa saham yang tetap menarik dikoleksi.Selain itu, analis memberi saran investor bisa memilih saham dengan eksposur utang yang kecil saat bunga tinggi. Apa saja saham-saham itu?CTRASektor properti memang termasuk sektor yang berpotensi terimbas kenaikan suku bunga. Meski begitu, analis menilai beberapa saham properti masih layak dikoleksi. Salah satunya PT Ciputra Development Tbk.Rizky menuturkan, kenaikan suku bunga acuan yang sudah terjadi saat ini tidak akan mempengaruhi bisnis emiten yang mencatatkan sahamnya di bursa efek dengan kode CTRA ini. Memang, saat ini sekitar 49% pembeli rumah tinggal yang dibangun kelompok properti Ciputra masih mengandalkan kredit pemilikan rumah (KPR).Namun, kenaikan suku bunga tetap tidak akan mengancam bisnis Ciputra.Ketahanan serupa terlihat pada saat pemerintah mengeluarkan aturan minimum uang muka untuk pembelian properti tahun lalu. “Saat itu kinerja Ciputra tetap positif,” tandas Rizky.Selain itu, Ciputra dan anak-anak usahanya juga memiliki berbagai proyek properti yang menyasar masyarakat kelas atas dan tidak terpengaruh oleh kenaikan suku bunga. Faktor inilah yang antara lain membuat saham CTRA masih layak dijadikan portofolio investasi.Misalnya, Ciputra World Jakarta yang digarap PT Ciputra Property Tbk. Selain itu, PT Ciputra Surya Tbk, anak usaha Ciputra yang lain, juga mengembangkan berbagai proyek residensial yang potensial. Tahun ini, Ciputra Surya menargetkan merilis 11 proyek baru.Ciputra sendiri juga masih gencar berekspansi. Baru-baru ini, perusahaan properti yang didirikan taipan Ciputra ini mendirikan joint venture dengan Mitsui Corporation untuk mengembangkan sejumlah lahan milik Ciputra. Direktur Keuangan Ciputra Tulus Santoso menuturkan, nilai investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai Rp 2,15 triliun.Kinerja Ciputra sendiri terhitung lumayan. Hingga Mei 2013 lalu, perusahaan ini berhasil mencetak pendapatan pra penjualan alias marketing sales sebesar Rp 4,8 triliun, naik 81% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.Kenaikan marketing sales tersebut antara lain didongkrak oleh hasil penjualan lahan ke perusahaan joint venture dengan Mitsui Corporation senilai sekitar Rp 435 miliar. Dengan demikian, selama Mei 2013 saja, Ciputra berhasil membukukan marketing sales Rp 1,2 triliun.Analis Indo Premier Securities Natalia Sutanto dalam risetnya memprediksi, CTRA bisa membukukan pendapatan Rp 5,97 triliun, dengan laba bersih Rp 1,07 triliun. Sementara marketing sales bisa mencapai Rp 9,51 triliun di akhir tahun.Rizky mengaku masih mengkaji ulang rekomendasi untuk CTRA. Meski begitu, Mandiri Sekuritas menghitung rasio harga saham terhadap laba bersih atau price to earning ratio (PER) CTRA tahun ini mencapai 26,7 kali, lebih tinggi dari PER industri yang 16,4 kali.Sementara Natalia memasang rekomendasi beli untuk CTRA dengan target harga Rp 1.700 per saham. Kamis (20/6), harga CTRA turun 8,82% menjadi Rp 1.240 per saham.INDFAnalis menilai PT Indofood Sukses Makmur Tbk termasuk perusahaan dengan tingkat ketahanan finansial yang kuat. Emiten yang mejeng di bursa saham dengan kode INDF ini mendapat dukungan bisnis dari anak-anak usahanya, antara lain PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, PT Salim Ivomas Pratama Tbk dan PT Indofood Agri Resources Ltd (IndoAgri).Bisnis Indofood juga tidak akan terganggu kenaikan suku bunga. Sebab, perusahaan milik keluarga Salim ini memiliki rasio likuiditas yang sehat dan tidak mengandalkan banyak utang untuk mendanai ekspansi bisnisnya.Tengok saja perbandingan kewajiban dan aset perusahaan ini. Berdasarkan laporan keuangan kuartal I-2013, INDF memiliki total aset Rp 60,55 triliun. Sebesar Rp 24,78 triliun merupakan aset lancar. Sementara, total kewajiban emiten ini mencapai Rp 25,29 triliun, dengan total kewajiban jangka pendek Rp 12,92 triliun.Dus, rasio lancar perusahaan ini mencapai 1,91 kali. Adapun, quick ratio atau likuiditas jangka pendek Indofood mencapai 1,38 kali. “Umumnya perusahaan yang sehat rasio lancarnya di kisaran 1 kali,” jelas Kiswoyo Adi Joe, Managing Partner PT Investa Saran Mandiri. Utang yang kecil inilah yang membuat saham INDF kebal terhadap kenaikan suku bunga.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 39 - XVII, 2013 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander