Emiten keramik mencari strategi bertahan



KONTAN.CO.ID - Industri keramik yang tak bergairah membuat emiten harus bertahan dari tekanan bisnis. Sebagai bisnis penunjang properti, pertumbuhan bisnis ini memang linear. Lesunya penjualan properti belakangan ini ditengarai turut menyeret bisnis keramik.

Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, kapasitas produksi terpasang ubin keramik nasional yakni sebesar 580 juta meter persegi. Namun, permintaan keramik di Indonesia hanya mencapai 350 juta meter persegi pada 2016. Artinya, penyerapan keramik hanya sekitar 60%.

Hal tersebut telah terbukti menekan salah satu emiten keramik di Bursa Efek Indonesia. Kondisi negatif itu berdampak pada anak usaha, PT Mulia Industrindo Tbk (MLIA), yakni PT Muliakeramik Indahraya. Karena membebani kinerja konsolidasi keuangan, MLIA pun mendivestasi anak usaha itu.


MLIA memilih fokus pada bisnis kaca lembaran, botol kemasan, glass block, dan kaca pengaman otomotif yang diklaim memiliki pertumbuhan cukup baik. Dalam keterbukaan informasi BEI, lewat anak usaha MLIA, PT Muliaglass, berkeyakinan mampu memperbaiki kinerja dan pertumbuhan keuangan.

Sebagai catatan, MLIA telah mendivestasikan anak usahanya kepada PT Eka Gunatama Mandiri yang merupakan pemegang saham utama perusahaan. MLIA menjual 799,2 juta saham PT Muliakeramik Indahraya dengan nilai nominal Rp 500 per saham. Angka tersebut setara dengan 99,9% dari seluruh saham yang telah ditempatkan dan disetor. Nilai transaksi ini sebesar Rp 425 miliar.

Reza Priyambada Analis Binaartha Parama Sekuritas menyatakan, sebagai bisnis pendukung industri properti, industri keramik tumbuh sejalan. Selain properti yang kini sedang lesu, rupanya persaingan dari dalam negeri juga berpengaruh.

Ini serupa misalnya dengan PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA), dan PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk (KIAS). "Misalnya dengan ARNA yang memasarkan produk kelas menengah bawah. Saat ini juga tengah menghadapi hal yang sama," ujar Reza kepada KONTAN, Jumat (22/9).

Selain itu, sirkulasi penjualan keramik juga lambat lantaran keramik merupakan produk tahan lama. Belum lagi, menurut Reza saat ini sektor properti juga masih merayap. "Oleh karena itu, perusahaan menerapkan strategi bertahan. Misalnya lewat penerbitan surat utang atau jual anak usaha," imbuhnya.

Reza menyatakan, strategi yang dilakukan MLIA adalah langkah menekan biaya. Sebab dari sisi topline belum mencatatkan hasil yang baik. Sementara, dengan memilih fokus di bisnis lain, kinerja emiten juga belum bisa menjanjikan tumbuh. Pasalnya masih ada pengaruh permintaan.

"Sejauh ini, produk consumers (untuk kebutuhan botol kaca, dll) masih cukup terjaga. Tapi kini pemain banyak, jadi bergantung pangsa pasarnya," ujar Reza.

Selain permintaan dari dalam negeri yang minim, industri keramik juga mendapat tekanan dari produk keramik Tiongkok. Bukan hanya itu, harga gas yang tinggi juga mendongkrak ongkos produksi. "Demand keramik seharusnya sudah mulai kelihatan lagi dengan adanya demand dari Meikarta," ujar Hans Kwee Direktur Investa Saran Mandiri kepada KONTAN, Jumat (22/9).

Mengutip kompas.com, industri pengguna gas bumi juga menunggu niat baik pemerintah untuk menurunkan tarif gas agar tidak lebih dari US$ 6 per million british thermal units (mmbtu). Namun nyatanya, mayoritas industri masih harus menebus bahan bakar produksinya dengan harga US$ 10- US$ 11 per mmbtu.

Hans menyatakan, hal tersebut membenani produsen keramik. Meskipun nanti ada permintaan produksi, namun harga gas yang tinggi menjadi kendala. "Margin menjadi tipis, belum lagi ada persaingan dengan keramik Tiongkok," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati