KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten komoditas tengah dikepung sejumlah sentimen negatif. Misalnya, harga batubara yang masih mengalami penurunan. Melansir
Trading Economics, harga batubara berada di level US$ 138,75 per ton. Harga tersebut turun 12,18% secara tahunan alias
year on year (yoy) dan terkoreksi 5,45% dalam sebulan. Harga baja juga mengalami nasib serupa. Per hari Rabu (11/9), harga HRC steel ada di level US$ 695,04 per ton. Harganya turun 2,25% yoy, tetapi mampu naik 2,51% dalam sebulan terakhir.
Minyak bumi juga mengalami penurunan harga sebesar 23,38% yoy ke level US$ 66,97 per barel. Dalam sebulan, harga minyak bumi turun 16,4%.
Baca Juga: Triputra Agro (TPAG) Lakukan Konservasi Hutan Adat Panglima Pati di Jambi Komoditas minyak kelapa sawit alias
crude palm oil (CPO) juga tengah dirundung sentimen negatif. Asosiasi Minyak Sawit Indonesia mengingatkan akan adanya gangguan rantai pasokan global jika Uni Eropa (UE) melanjutkan larangan impor komoditas yang terkait dengan deforestasi tahun ini. UU Deforestasi UE (EUDR) sendiri akan berlaku pada 30 Desember 2024 mendatang. Kinerja ekspor CPO dari Tanah Air juga kemungkinan turun menyusul kemungkinan penerapan pajak impor produk sawit dan turunannya oleh Pemerintah India. Saat ini, India tercatat sebagai salah satu konsumen utama CPO di dunia. Berdasarkan catatan Kontan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor CPO dan turunannya mengalami defisit pada Juli 2024. Nilai ekspor CPO dan turunannya turun sebesar 36,37% month to month (mtm) serta turun 39,22% yoy pada bulan Juli lalu.
Baca Juga: Harga CPO Bullish Sejak Medio Agustus 2024, Simak Prospek dan Saham yang Menarik Corporate Secretary PT Triputra Agro Persada Tbk (
TAPG), Joni Tjeng mengatakan, hingga saat ini penjualan perseroan masih berfokus pada domestik, sehingga hambatan non-tarif perdagangan dari UE tidak secara langsung mempengaruhi performa perseroan. “Pada saat ini, penjualan perseroan masih berfokus pada domestik khususnya memenuhi kebutuhan
demand dari
refinery-refinery palm oil yang berada di Indonesia,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (11/9). Untuk meminimalisasi dampak dari kebijakan EUDR, TAPG saat ini juga telah melakukan antisipasi melalui kolaborasi dengan para pembeli untuk memenuhi hal-hal yang dibutuhkan pada bidang
upstream yang ada dalam beleid tersebut. “Ini khususnya terkait pengembangan teknologi terkait
traceability,” ungkapnya.
Baca Juga: Emiten Tambang dan Energi Gelontorkan Capex Jumbo untuk Biayai Ekspansi Tak hanya itu, industri sawit Tanah Air juga dituntut untuk meningkatkan kemampuan produksi CPO demi memenuhi target pemerintah terkait kebutuhan bahan baku biodiesel. Hal ini terkait dengan terus dinaikkannya program mandatori biodiesel. Asal tahu saja, pemerintah berencana menerapkan program mandatori biodiesel 40% (B40), atau campuran solar 60% dan minyak sawit 40%, pada awal tahun 2025. Nantinya, persentase bahan bakar nabati ini akan terus meningkat dalam jangka panjang melalui program B50, B60, hingga B100.
Sebelum B40 diterapkan, Indonesia telah menerapkan B35 dengan volume CPO yang dibutuhkan sebesar 13,4 juta kilo liter (kl). Sementara, program B40 akan membutuhkan pasokan volume CPO sebesar 16 juta kl.
Baca Juga: Saham ITMA Terbang Seiring Aksi Para Investor Kakap Rajin Utak-Atik Kepemilikan Harga CPO sendiri saat ini tercatat ada di level MYR 3.938 per ton, naik 6,92% yoy dan 6,17% dalam sebulan. Equity Research Analyst at Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan mencermati, sepanjang tahun ini pergerakan harga komoditas cukup beragam.
Editor: Noverius Laoli